Kamis, 17 Januari 2008

Bernegosiasi di Tempat Kerja

Bernegosiasi di Tempat Kerja

Oleh

Arbono Lasmahadi
Sumber : www.e-psikologi.com


Hari ini , Jum’at Desember 24, 2004, sudah mendekati larut malam, pukul 23.00 WIB. Ruang kerja Harry Johan (bukan nama sebenarnya) , Manajer Senior Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), PT. Dinamika Pangan Sehat - DPS (bukan nama sebenarnya) sebuah perusahaan nasional, masih terlihat terang menderang. Tampaknya hari ini merupakan hari tersibuk bagi Harry, karena dalam 2 minggu kedepan, akan terjadi peristiwa penting baginya, yaitu melakukan negosiasi pertama kalinya dengan Pihak Serikat Pekerja untuk membahas isi dari Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) untuk 2 tahun kedepan. Harry masih tenggelam dengan proses analisa data gaji dan fasilitas karyawan, yang akan menjadi salah satu pokok bahasan dalam negosiasi KKB.
Harry memang baru 3 bulan dipromosikan sebagai Manajer Senior SDM di perusahaan, menggantikan manajer sebelumnya yang telah memasuki masa pension. Sebelumnya Harry adalah adalah Manajer Keuangan, Harry tidak pernah sekalipun terlibat dengan urusan negosiasi KKB dengan serikat pekerja. Yang pernah ia lakukan adalah negosiasi harga dengan para pemasok barang atau jasa, itupun dalam skala yang kecil, dan bukan dalam skala perusahaan dengan jumlah karyawan kurang lebih 750 orang. Sejak dia dipromosi sebagai Manajer Senior SDM, maka negosiasi KKB merupakan tanggung jawab yang tidak dapat dia hindarkan.
Harry menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dalam melakukan negosiasi KKB dengan pihak Serikat Pekerja, akan memberikan dampak positif terhadap terciptanya suasana kerja yang lebih kondusif bagi berjalannya bisnis perusahaan. Namun pada sisi lain, ia belum sepenuhnya yakin bahwa kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya dalam bernegosiasi dapat membantunya untuk menyelesaikan negosiasi ini dengan baik, seperti yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan dan juga para karyawan. Disisi lain, sejarah negosiasi KKB di perusahaan ini selalu berlangsung dengan alot, dan memakan waktu berhari-hari. Bahkan beberapa tahun sebelumnya pernah mengalami “deadlock” , sehingga memerlukan bantuan dari juru penengah dari Dinas Tenaga Kerja Setempat. Harry sendiri belum mengetahui dengan persis alasan yang membuat proses negosiasi KKB di PT. DPS selalu berlangsung dengan alot. Yang dia ketahui adalah bahwa hubungan antara manajemen perusahaan dan serikat pekerja di perusahaan ini kurang harmonis. Dia menduga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya negosiasi KKB yang alot . Situasi dan kondisi inilah yang membuat Harry khawatir bahwa negosiasi KKB kali ini juga akan melalui proses yang sama, seperti sebelumnya.
Ilustrasi cerita di atas mungkin menggambarkan masalah yang pernah dihadapi oleh banyak praktisi SDM di Indonesia. Negosiasi KKB tidak jarang menjadi ajang untuk unjuk “kekuatan” dan “kekuasaan” dari pihak-pihak yang melakukan perundingan. Bila hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa proses perundingan akan berlangsung dengan alot, membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya, atau mungkin dalam kasus yang paling buruk terjadi “dead lock” sehingga membutuhkan keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) untuk menyelesaikannya.
Apakah proses negosiasi begitu sulitnya, sehingga harus berlangsung alot ¿ Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung cara kita menangani proses tersebut. Semakin efketif kita menanganinya, semakin cepat proses negosiasi dapat diselesaikan. Bagaimana cara menangani proses negoasiasi secara efektif ¿ Melalui uraian berikut , penulis mencoba untuk menguraikannya berdasarkan pengalaman yang dimiliki dan juga kajian literatur yang ada. Semoga tulisan ini memberikan wawasan yang lebih baik kepada para praktisi SDM dan para pimpinan serikat pekerja, agar dapat melakukan proses negosiasi di tempat kerja secara efektif.


A. Pengertian Negosiasi

Menurut Stephen Robbins dalam bukunya “ Organizational Behavior” ( 2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut.
Dengan pengertian tersebut di atas, maka dalam setiap proses negosiasi , setiap pihak yang berkepentingan berupaya mempertukarkan sesuatu yang dimilikinya dan mendapatkan timbal balik yang sepadan dari mitra negosiasinya. Negosiasi dapat terjadi dimana saja, di rumah, di sekolah, di pusat perbelajaan, atau di tempat kerja. Di tempat kerja negosiasi bisa terjadi dalam bentuk yang sederhana , seperti saat seorang karyawan mengajukan usulan untuk mengikuti kegiatan pelatihan kepada atasannya yang belum tentu menyetujui usulannya tersebut, hingga yang paling rumit saat seorang manajer SDM harus melakukan pemutusan hubungan kerja secara masal kepada sejumlah karyawan.
Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :
· kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan, contoh : Seorang calon karyawan yang sedang berupaya mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, dengan gaji seperti yang diharapkannya di sebuah perusahaan. Sementara wewenang memberikan pekerjaan dan gaji berada pada pihak perusahaan.
· terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak, contoh : Perusahaan yang sedang berupaya untuk melakukan pemutusan hubungan kerja masal tehadap sejumlah karyawan. Keinginan pihak perusahaan tidak dapat dilakukan tanpa keterlibatan dari pihak perwakilan pekerja, Dinas Tenaga Kerja, dan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat ( P4P)
· keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain. Contoh : Keberhasilan kerja Departemen SDM akan tergantung dukungan dari pihak manajemen dan masing-masing kepala departemen.
· kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, contoh : perusahaan yang sedang berupaya untuk merekrut seorang tenaga ahli yang sangat diperlukan oleh perusahaan, namun jumlahnya Sangat terbatas di pasar tenaga kerja, sementara tenaga ahli tersebut mengajukan permintaan paket kompensasi yang cukup tinggi.

Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ¿ Upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
· persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak, contoh : seorang karyawan yang tertangkap tangan melakukan pencurian, dan akan mengalami pemutusan hubungan kerja.
· salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain, contoh : pemogokan yang dibarengi dengan upaya sabotase.
· negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi, contoh : perwakilan pihak pekerja atau pengusaha dalam negosiasi KKB tidak diberikan wewenang untuk mengambil keputusan apapun selama negosiasi berlangsung.


B. Konsep – Konsep Penting

Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain :
· Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi ?
· Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan ?
· Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu

BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan. Contoh : Bila pasal mengenai besarnya pesanggon yang harus diberikan dalam proses PHK yang diajukan pihak pengusaha tidak dapat disepakati oleh pihak serikat pekerja, maka negosiator dari pihak pengusaha mempunyai 2 pilihan ,yaitu mencoba untuk melakukan “trade off” dengan pasal mengenai penambahan cuti atau meninggalkan perundingan, bila tidak ada tanda-tanda positif dari para perunding pihak serikat pekerja untuk mau beranjak dari posisi-nya saat ini.
Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi. Contoh : negosiator dari pihak pekerja akan menyepakati hasil perundingan KKB secara keseluruhan, apabila minimum 5 dari 10 usulan mereka dapat diterima oleh pihak perusahaan
ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi. Contoh : target upah minimum yang dikehendaki oleh pihak pekerja adalah Rp. 1.000.000 (gross), sedangkan reservation price-nya adalah Rp. 750.000 (gross). Sedangkan target upah minimum yang dikehendaki oleh pihak pengusaha adalah Rp. 650.000 (gross), dan reservation price-nya adalah Rp. 850.000 (gross). Zona antara Rp. 750.000 (gross) dan Rp. 850.000 (gross) adalah ZOPA

Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan. Pengalaman penulis sebagai anggota tim negosiasi perusahaan untuk pembaharuan KKB, menunjukkan bahwa dengan memahami BATNA, Reservation Price dan ZOPA yang diberikan oleh pihak manajemen perusahaan, memudahkan penulis dan team negosiator perusahaan untuk melakukan proses negosiasi secara lebih fleksible dan terarah. Dengan demikian , tim perunding dari pihak manajemen tidak perlu setiap saat menghubungi pihak manajemen untuk meminta pendapat atau mendapatkan keputusan. Hanya bila hal-hal yang dirundingkan melampaui batas BATNA, Reservation price, atau ZOPA yang telah ditentukan sebelumnya, tim negosiator menghubungi pihak manajemen perusahaan untuk meminta pendapat.

C. Macam- Macam Negosiasi

Pada dasarnya ada 2 macam negosiasi, yaitu :
1. Distributive negotiation- Zero sum negotiation (win-lose) , yaitu suatu bentuk negosiasi yang didalam proses pelaksanaannya para, pihak yang terlibat bersaing untuk mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan atau manfaat yang ada. Meningkatnya manfaat yang diperoleh salah satu pihak akan mengurangi manfaat yang diperoleh oleh pihak lain. Biasanya perundingan semacam ini terjadi bila hanya ada satu masalah yang menjadi materi perundingan Contoh : Negosiasi untuk mementukan besarnya pesangon yang akan diberikan kepada karyawan yang akan di – PHK.
2. Integrative negotiation (win-win), yaitu suatu bentuk negosiasi yang dalam proses pelaksanaannya, para pihak yang terlibat bekerja sama untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya atas hal-hal yang dirundingkan dengan menggabungkan kepentingan mereka masing-masing untuk mencapai kesepakatan. Negosiasi semacam ini biasanya terjadi bila ada lebih dari satu masalah yang menjadi materi perundingan. Contoh : negosiasi untuk memperbaharui KKB

Dalam kenyataannya hampir semua negosiasi yang kita lakukan merupakan kombinasi dari kedua macam bentuk negosiasi tersebut di atas. Dalam proses negosiasi terkadang kita perlu berkompetisi dengan pihak lain untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan. Namun tidak jarang juga kita bekerja sama dengan pihak lain untuk dapat memaksimalkan hasil negosiasi yang akan dicapai.

D. Stategi Dalam Bernegosiasi

Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :

Win-win
Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation. Contoh : Pihak manajemen sepakat untuk memberikan paket PHK di atas ketentuan pemerintah, dan pihak pekerja sepakat untuk dapat segera mengakhiri hubungan kerja dengan damai

Win-lose
Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan. Contoh : Pihak pekerja terpaksa menyepakati kenaikan gaji di bawah target yang telah mereka usulkan sebelumnya kepada pihak perusahaan.
Lose-lose
Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tapat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan. Contoh : Pihak pengusaha akhirnya melakukan upaya “Lock out”, karena pihak pekerja tidak bersedia untuk menghentikan pemogokan.
Lose-win
Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka. Contoh : Pihak pengusaha sengaja memberikan beberapa konsesi yang tidak terlalu signifikan kepada pihak pekerja, dengan harapan dapat membangun kepercayaan dengan pihak pekerja di masa yang akan datang.


E. Taktik Dalam Negosiasi

Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
Membuat agenda
Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan

Bluffing
Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar. Contoh : Pihak pengusaha menunjukkan bahwa mereka tidak peduli sama sekali dengan ancaman pihak pekerja untuk melakukan pemogokan bila perundingan gagal (padahal sebenarnya mereka khawatir bila pemogokan terjadi).

Membuat tengat waktu (deadline)
Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tengat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan. Contoh : Pihak pengusaha menyatakan kepada pihak pekerja , bahwa bila paket PHK yang ditawarkan tidak diambil Sekarang, maka paket PHK yang akan diberikan berikutnya akan lebih rendah dari yang ditawarkan saat ini.

Good Guy Bad Guy
Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat’ dan “baik” pada salah pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pilak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.


The art of Concesión
Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi . Contoh : Pihak pengusaha sepakat untuk memberikan kenaikan gaji yang diminta pihak pekerja, asal pihak pekerja sepakat untuk mendukung pihak pengusaha mengurangi jumlah pekerja.

Intimidasi
Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak. Contoh : Pihak pekerja mengamcam bahwa bila permintaan kenaikan gaji mereka tiak dipenuhi oleh pihak pengusaha, maka mereka akan melakukan pemogokan selama 1 bulan.

F. Perangkap Dalam Negosiasi (Negotiation Sandtraps)

Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and the Heart of Negotiation, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu :
Leaving money on table (dikenal juga sebagai “lose-lose” negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan “win-win” solution. Contoh. Bila perunding dari pihak manajemen sedikit sabar dalam memberikan waktu kepada pihak pekerja untuk melakukan konsultasi diantara mereka, maka suasana perundingan akan menjadi lebih kondusif, sehingga kemungkinan terjadinya “win-win” solution akan menjadi lebih besar.
Settling for too little ( atau dikenal sebagai “kutukan bagi si pemenang”), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh. Contoh : Pihak pekerja memberikan dukungan kepada pihak manajemen untuk melakukan pengurangan pekerja, dengan konsesi akan diberikan kenaikan gaji sedikit di atas tingkat inflasi.
Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan. Contoh : Pihak pekerja menolak menerima penawaran paket PHK dari pihak manajemen, yang besarnya 50 % di atas ketentuan pemerintah, dan tetap menginginkan paket yang besarnya 100 % di atas ketentuan pemerintah. Mereka memilih untuk meninggalkan meja perundingan, dan memilih penyelesaian melalui mekanisme P4P. Mereka berpikir dengan penyelesaian melalui mekanisme P4P, keinginan mereka dapt dipenuh oleh P4P. Namun banyak kasus, masalah ini diputuskan oleh P4P sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau setdaknya berdasarkan tawaran yang dikajukan oleh pihak manajemen.
Settling for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain. Contoh : Karena selama ini hubungan antara pihak manajemen dan pihak serikat pekerja cukup baik dan pihak manajemen banyak membantu serikat pekerja, maka para perunding dari pihak serikat pekerja sulit untuk menolak tawaran pihak manajemen untuk hanya menaikan gaji karyawan berdasarkan inflasi. Padahal melihat hasil prestasi perusahaan, pihak perunding dari serikat pekerja, dapat mengajukan alternatif kenaikan gaji yang lebih tinggi dari nilai inflasi.

G. Faktor - faktor yang membuat para perunding tidak efektif


Dalam melakukan perundingan seorang perunding sebaiknya dapat menilai dengan baik bahwa dirinya merupakan seorang perunding yang efektif. Namun demilkian dalam prakteknya kebanyakan orang ternyata bukanlah perunding yang efektif. Akibatnya banyak proses perundingan tidak jarang mengalami kebuntuan (deadlock) , atau hasil perundingan yang diperoleh tidak memuaskan para pihak yang terkait (win-lose , lose-win, lose-lose). Agak sulit dibayangkan bila seorang melakukan perundingan dengan cara yang buruk untuk hal-hal yang penting dalam hidupnya atau karirnya di perusahaan. Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and Heart of the Negotiator alasan yang menyebabkan seseorang menjadi perunding yang buruk bukanlah terletak pada faktor motivasi dan kemampuan intelektual di sisi para perunding. Menurutnya , akar masalahnya terjadi pada 3 hal yang mendasar yaitu : faulty feedback, satisfacing, dan self reinforcing incompetence.

1. Umpan balik yang salah (Faulty feedback)

Kebanyakan dari kita pernah melakukan proses perundingan (negosiasi) dalam hidup kita. Bahkan banyak diantara kita merupakan perunding-perunding yang berpengalaman. Namun demikian, sangat jarang kita mendapat kesempatan untuk belajar atau mau belajar tentang cara berunding yang efektif. Salah satu komponen penting dalam proses belajar adalah adanya umpan balik (feedback), dan 3 hal penting dari umpan balik adalah akurasinya, disampaikan dengan segera, dan spesifik. Problem yang dihadapi para perunding sehingga membuat mereka menjadi tidak efektif dalam melakukan perundingan bukanlah disebabkan oleh kurangnya pengalaman mereka dalam melakukan perundingan, namun disebabkan oleh kurangnya umpan balik yang tepat waktu dan akurat. Orang-orang yang sehari-harinya melakukan proses perunding, mendapatkan sedikit sekali umpan balik tentang efektifitas mereka dalam melakukan perundingan. Tidak adanya umpan balik ini menyebabkan munculnya masalah (bias) yang mencegah para perunding untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari proses perundingan yang mereka lakukan.

Bias konfirmasi (confirmation bias)
Bias ini adalah kecenderungan seseorang untuk hanya melihat sesuatu seperti yang ingin mereka lihat saat melakukan penilaian terhadap prestasi mereka. Bias ini menyebabkan seseorang secara selektif mencari informasi yang mereka yakini benar saja. Bias ini sepertinya tidak menyakitkan. Namun demikian hal ini membuat terjadinya kesalahan persepsi terhadap kenyataan yang ada, yang pada akhirnya dapat menghambat proses belajar seseorang. Contoh : Seorang perunding yang menganggap bahwa dirinya adalah perunding yang handal, hanya akan meminta umpan balik kepada orang-orang yang diyakininya akan memberikan umpan balik yang positif tentang kehandalan dirinya dalam berunding. Padahal bila ia juga meminta umpan balik dari orang-orang lain yang lebih kritis kepadanya, maka akan banyak nilai tambah yang diperolehnya untuk memperbaiki kekurangan yang dimilikinya.

Egosentrisme
Bias ini terjadi manakala seseorang cenderung melihat pengalaman yang mereka alami dengan cara yang menyenangkannya atau sesuai dengan dengan yang mereka inginkan. Kesalahan ini dapat membuat seorang perunding salah dalam menilai dirinya. Contoh : Seorang perunding dari pihak manajemen yang menganggap dirinya selalu sukses dalam melakukan proses perundingan, percaya dan yakin (berdasarkan pengalaman sebelumnya) bahwa patner berundingnya dari pihak serikat pekerja selalu dengan mudah dapat diyakinkan untuk menerima proposal yang ditawarkannya. Keyakinan yang berlebihan ini dapat mengakibatkan perunding yang bersangkutan kewalahan manakala menghadapi patner berunding yang ternyata lebih handal dari yang dia perkirakan sebelumnya, dan mungkin saja mengalami kesulitan untuk menyelesaikan proses perundingan. Padahal bila ia menganggap bahwa setiap parner berundingnya adalah unik , dan mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing, maka ia akan dapat mempersiapkan proses perundingan yang akan dilakukannya dengan lebih baik. Dengan demikian diharapkan hasil perundingan akan menjadi lebih positif baginya.


2. Satisficing (Menerima hasil perundingan yang bernilai rendah)

Kecendurangan orang untuk dapat menerima hasil perundingan yang bernilai rendah atau ”pas-pasan” merupakan salah satu alasan yang menyebabkan orang mengalaman kegagalan dalam proses perundingan (Simon, 1955). Menurut Nobel Laureate Herb Simon (1955), satisfacing adalah lawan dari optimizing. Optimizing adalah upaya mengoptimalkan strategi yang akan diterapkannya dalam proses perundingan, dengan cara menetapkan aspirasi yang tinggi, dan berupaya untuk memperolah sebanyak mungkin manfaat dalam proses perundingan. Sebaliknya orang yang cederung satisficing akan menetapkan aspirasi yang lebih rendah dari yang seharusnya mereka peroleh dan tidak berupaya memperoleh sebanyak mungkin manfaat dalam proses perundingan. Contoh : Para perunding dari pihak serikat pekerja yang bersedia menerima kenaikan gaji yang besarnya sesuai dengan tingkat inflasi. Padahal dengan kondisi perusahaan yang sangat sehat secara finansial, kenaikan gaji yang mungkin dapat diberikan adalah di atas nilai inflasi.Hal ini terjadi karena mereka kurang berupaya untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin dalam proses perundingan yang terjadi. Dalam jangka panjang satisficing ini akan dapat merugikan individu , maupun perusahaan, khususnya bila berbagai strategi dan ketrampilan bernegosiasi yang sebenarnya relatif tersedia dengan murah , yang dapat meningkatkan hasil negosiasi secara dramatis, tidak dimanfaatkan secara maksimal.

3. Ketidak-mampuan diri yang terus diperkuat ( Self reinforcing incompetence)

Dalam proses perundingan, para perunding harus memahami dengan baik keterbatasan yang dia miliki . Namun demikian sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari ketidak-mampuan yang mereka miliki.(Dunning, Johnson, Ehrlinger, & Krueger, 2003). Kondisi ini bila dibiarkan terus menerus akan membuat efektifitas seorang perunding dalam melakukan perundingan menjadi menurun. Hal ini terjadi karena yang bersangkutan tetap menggunakan terus menerus ketrampilan atau tingkah lakunya yang sebenarnya tidak efektif lagi dalam meningkatkan keberhasilannya untuk memenangkan perundingan. Seorang perunding dengan gejala self reinforcing incompetence ini tidak mau untuk menggunakan atau mencoba cara-cara baru yang lebih efektif dalam melakukan perundingan, karena khawatir atas resiko yang muncul bila mencoba cara-cara baru. Takut kalah atau takut membuat kesalahan membuat banyak perunding yang tidak mampu untuk meningkatkan keterampilannya dalam berunding. Contoh : Para perunding dari pihak manajemen, sering menggunakan taktik “good guy & bad guy” dalam setiap proses perundingan yang mereka lakukan dengan pihak pekerja. Padahal taktik ini sudah dapat terbaca oleh para perunding dari pihak pekerja. Akibatnya ketika taktik digunakan lagi dalam perundingan berikutnya, hasilnya tidak berjalan sesuai rencana. Namun tampaknya para perunding dari pihak manajemen tidak berupaya untuk merubah taktik perundingan ini.

Untuk dapat mendiagnosa ketidak-mampuannya dan meningkatkan efektifitasnya diri mereka, maka proses belajar 2 jalur (double-loop learning ) dapat digunakan oleh seseorang (Argyris, 2002). Kebanyakan orang menggunakan proses belajar 1 jalur (single-loop learning) dalam memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang mereka miliki. Proses belajar 1 jalur (single-loop learning) terjadi manakalah kesalahan yang terjadi diperbaiki tanpa merubah prinsip-prinsip dasar yang meyebabkan terjadinya kesalahan tersebut. Contoh : Seorang perunding memperbaiki taktiknya dalam berunding , yang merupakan hal yang dianggap mengurangi efektifitasnya dalam perundingan sebelumnya. Namun perbaikan ini tidak didahului sebelumnya dengan perubahan strategi perundingan, yang sebenarnya akan menentukan taktik berunding yang akan digunakan. Pada proses belajar 2 jalur (double-loop learning), perubahan strategi perundingan dilakukan , yang kemudian diikuti dengan perbaikan dalam taktik berunding.

Perlu juga kita simak pendapat Sebenius (2001) berikut ini dalam artikelnya yang berjudul “ Six habits of merely effective negotiators” tentang pentingnya untuk menggunakan asumsi yang benar dalam melakukan perundingan :

“ Memahami minat dari patner berunding anda dan membuat keputusan yang dapat diterima oleh patner berunding anda seperti yang mereka pikirkan, adalah kunci untuk menciptakan dan memperoleh nilai yang terus berkelanjutan dari sebuah perundingan “

H. Proses Perundingan

Menurut Stone (1998) Proses perundingan pada dasarnya dibagi menjadi 4-5 tahap utama yang bervariasi secara signifikan di setiap situasi perundingan, yaitu 1. persiapan, 2. penyampaian tuntutan awal (initial demand), 3. perundingan, 4). kebuntuan, dan 5. Kesepakatan. Berikut penjelasan secara lebih lengkap

1. Persiapan
Apa yang harus dilakukan sebelum perundingan dilakukan ? Lakukan persiapan dengan baik. Prinsip pareto , yaitu 80-20, berlaku dalam proses perundingan. Artinya bahwa seorang perunding harus mencurahkan 80 % dari usahanya untuk melakukan persiapan, dan hanya diperlukan 20 % dari usahanya untuk melakukan perundingan yang sebenarnya (Thompson, 2005)

Kebanyakan dari para perunding memahami bahwa persiapan penting dalam melakukan perundingan. Namun demikian sedikit sekali yang mempersiapkannya dengan cara yang benar. Menurut Thompson (2005), ada 3 hal yang harus dilakukan sebagai persiapan sebelum melakukan perundingan, yaitu 1) Melakukan pengukuran diri 2) Melakukan pengukuran terhadap pihak lain dan 3) Melakukan pengkuran terhadap situasi :

Melakukan pengukuran diri.
Pada tahap ini, perunding perlu sedikitnya menentukan 6 hal, yaitu :
1) Sasaran yang ingin dicapai dari perundingan yang akan dilakukan
2) Strategi yang akan digunakan untuk mengarahkan jalannya perundingan
3) Taktik yang akan digunakan selama perundingan berlangsung
4) Menetapkan BATNA (Best Alternative of The Negotiated Agreement ) yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan atau tidak sesuai rencana yang telah dibuat.
5) Menentukan Reservation Point yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam perundingan
6) Menentukan komposisi anggota tim perunding yang akan terlibat dalam proses perundingan dan peran dari masing-masing anggota tim perunding (bila perundingan dilakukan oleh tim, bukan individual)


Melakukan pengukuran terhadap pihak lain
Pada tahap ini perunding, perlu melakukan evaluasi terhadap beberapa hal berikut dari patner berundingnya (pihak lain) , yaitu :
1) Memperkirakan anggota tim perunding dari pihak lain dan masing-masng peran yang akan mereka mainkan, termasuk mengenali hidden table, yaitu bagian dari tim perunding yang tidak secara fisik hadir dalam perundingan, namun mempunyai peran yang sangat penting dalam mengarahkan perundingan yang berlangsung.
2) Menentukan kepentingan yang menjadi dasar bagi pihak lain dalam berunding dan posisi yang akan diambil oleh mereka selama perundingan
3) Memperkirakan BATNA dan Reservation Price dari pihak lain

Melakukan pengukuran terhadap situasi
Pada tahap ini perunding perlu melakukan sejumlah analisa terhadap situasi atau kondisi yang dapat mempengaruhi perundingan yang terjadi, seperti :
1) Membuat perkiraan terhadap jangka waktu terjadinya perundingan; sekali selesai, berkali kali, berulang ulang, dan sebagainya.
2) Membuat perkiraan terhadap kemungkinan proses perundingan akan memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas (dana, sumber daya manusia, dll) atau menyentuh aspek-aspek politik, sosial dan hukum.
3) Menentukan sifat perundingan yang dilakukan. Sifatnya yang dimaksud adalah ada tidaknya adanya kepentingan atau kebutuhan yang dapat dipertukarkan (exchange) atau ada tidaknya adanya tuntutan atau keluhan dari satu pihak yang tidak dapat diterima oleh pihak lainnya , sehingga menyebabkan terjadinya perselisihan (dispute).
4) Memperkirakan ada tidaknya dampak berantai dari perundingan yang dilakukan.
5) Menetapkan ada tidaknya persetujuan yang harus dibuat di akhir perundingan.
6) Menetapkan aspek-aspek hukum yang perlu dipenuhi untuk memastikan legitimasi dari perundingan yang dilakukan, termasuk perlu tidaknya pengesahan dilakukan oleh pihak ketiga, atas hasil perundingan yang dicapai.
7) Memperkirakan ada tidaknya keterbatasan dalam hal wewenang yang diberikan, biaya, dan waktu yang tersedia.
8) Menentukan tempat dilangsungkannya perundingan
9) Menentukan perlu tidaknya perundingan dilakukan secara tertutup atau secara terbuka.


2. Tuntutan awal (initial demand)

Sebelum perundingan dimulai atau memasuki substansi membahasan isi perundingan secara detil, masing-masing pihak melakukan klarifikasi atau menjelaskan mengenai tuntutan yang merekan inginkan. Sedikit banyaknya tuntutan yang dikemukakan masing-masing pihak serta baik tidaknya kerjasama yang ada di antara mereka selama proses ini, akan menentukan terbangun atau tidaknya suasana yang kondusif bagi proses selanjutnya. Perunding yang berpengalaman biasanya memfokuskan pembicaraaan pada masalah-masalah yang relatif sederhana atau tidak kontroversial, sehingga dengan mudah dapat dituntaskan. Dengan cara ini diharapkan terbangun suasan kerjasama diantara para perunding yang berasal dari kelompok yang berbeda.

3. Perundingan
Setelah tuntutan awal diungkapkan, masing-masing pihak harus menentukan hal-hal yang mereka inginkan dan hal-hal yang dapat mereka berikan sebagai konsesi. Pada tahap ini masing-masing pihak perlu melakukan perundingan dalam wilayah ZOPA (zone of possible agreement) yang tersedia. Masing-masing pihak mempunyai batas toleransi (reservation price) untuk dapat mencapai kesepakatan atau untuk meninggalkan proses perundingan, sehingga terjadi jalan buntu (deadlock).

Dalam proses perundingan secara tipikal titik sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak tidak bersinggungan (overlap). Hal ini berarti bahwa nilai /jumlah tuntutan yang diajukan oleh para perunding dari pihak serikat pekerja jauh lebih banyak daripada yang dapat dipenuhi oleh pihak perunding dari pihak manajemen, dan begitu juga sebaliknya. Namun demikian biasanya (walaupun tidak selalu), nilai toleransi minimum yang dapat diterima untuk menerima kesepakatan (reservation price) dari masing-masing perunding bersinggungan (overlap). Hal ini berarti nilai/jumlah tuntutan yang dapat dipenuhi oleh para perunding dari pihakmanajemen adalah lebih besar dari nilai toleransi minimum yang dapat diterima oleh pihak perunding dari serikat pekerja, dan begitu juga sebaliknya.

Dalam kondisi seperti tersebut di atas, kesepakatan yang dibuat, dapat menguntungkan kedua belah pihak. Namun demikian, tantangan yang harus dihadapi oleh para perunding dari kedua belah pihak adalah mencapai kesepakatan yang paling menguntungkan pihaknya masing-masing dan tidak memberikan terlalu banyak bagian dari ZOPA (zone of possible agreement) kepada pihak lain. Contoh : Bila ZOPA berada antara nilai 100 dan 150, yaitu 50 point, maka masing-masing perunding berupaya agar mereka mendapatkan porsi terbesar dari 50 point yang tersedia; bisa 45:5, 40:10, dan seterusnya.

4. Kebuntuan

Bila masing-masing pihak tidak mencapai kesepakatan dalam proses perundingan , maka terjadilah kebutuan (deadlock). Pada situasi ini, masing-masing pihak tetap perlu berupaya untuk dapat memecahkan kebutuntuan yang terjadi, melalui berbagai cara misalnya :

a. Mediasi
Yang dimaksud dengan mediasi menurut Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih. Sedangkan yang dimaksud dengan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

b. Konsiliasi
Yang dimaksud dengan konsiliasi menurut Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan

c. Arbitrase
Yang dimaksud dengan konsiliasi menurut Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final

d. Pemogokan
Adalah tindakan yang dilakukan oleh para anggota serikat pekerja yang menolak untuk bekerja dengan tujuan untuk menekan pihak manajemen perusahaan dalam proses perundingan. Menurut Pasal 137 Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

e. Penutupan Perusahaan (Lock out)
Adalah keputusan manajemen perusahaan untuk melarang para karyawan untuk memasuki areal perusahaan, dan tetap mengoperasikan perusahaan melalui personalia manajemen yang ada dan atau karyawan pengganti sementara. Menurut pasal Pasal 146 ayat (1) Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 , penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.

5. Kesepakatan

Bila dalam perundingan tidak terjadi kebuntuan (deadlock), masing-masing pihak akan sampai pada kesepakatan. Sebelum kesepakatan itu dilaksanakan , perlu diratifikasi terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang terkait. Para perunding dari pihak serikat pekerja akan mendiskusikan hasil kesepakatan yang telah mereka buat untuk mendapatkan persetujuan dari para anggotanya. Sedangkan para perunding dari pihak manajemen akan menyampaikan hasil kesepakatan kepada dewan direksi atau manajemen untuk mendapatkan persetujuan. Setelah persetujuan diperoleh oleh kedua belah pihak, maka hasil kesepakatan yang terjadi kemudian didaftarkan kepada Instansi yang berwenang, yaitu P4D/P4P atau Pengadilan Hubungan Industrial.


Kesimpulan

Melakukan perundingan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang perlu dikhawatirkan oleh para professional atau manajer selama mereka memahami konsep-konsep penting yang berkaitan dengan proses perundingan, seperti BATNA (Best Alternatives of The Negotiated Agreement) , Reservation Price, ZOPA (Zone of Possible Agreement), strategi negosiasi, taktik yang digunakan dalam perundingan, dan perangkap yang ada dalam proses negosiasi. Disamping itu, para professional atau manajer perlu terus berupaya untuk meningkatkan kemampuannya, dan menimimalkan munculnya bias yang dapat menghambat proses perundingan yang terjadi. Dalam melakukan negosiasi mereka perlu juga memahami pentingnya membuat perencanaan yang baik, dan memahami tahapan-tahapan yang terjadi dalam proses perundingan. Dengan pemahaman yang lengkap mengenai tata cara melakukan negosiasi dan proses yang terjadi di dalamnya, niscaya negosiasi akan dapat dilakukan dengan efektif oleh para professional atau pekerja. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan rujukan yang bermanfaat bagi yang membacanya. (ARL)

Sumber
1.Thompson L, Leight., The Mind and Heart of the Negotiator. 3rd Edition, 2005, Pearson Education International., Upper Saddle River, New Jersey 07458

2. Stone J, Raymond., Human Resources Management. 3rd Edition, 1998, John Wiley & Sons, Australia, Ltd, 33 Park Road, Milton, Qld 4064, Brisbane.

Komunikasi Yang Supoetif

Komunikasi Yang Suportif


Salah satu ukuran keberhasilan kita dalam bekerja sebagai seorang yang profesional adalah bila kita mampu membangun komunikasi interpersonal yang efektif dengan mitra kerja kita, apakah itu atasan, rekan kerja atau bawahan. Ada bermacam bentuk komunikasi interpersonal yang dapat membantu kita untuk berkomunikasi secara akurat dan jujur, tanpa membahayakan hubungan interpersonal yang sudah ada dengan mitra kerja kita. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Komunikasi yang suportif (Supportive Communication), yaitu suatu bentuk komunikasi interpersonal yang bertujuan untuk memelihara hubungan yang positif, dan pada saat yang sama dapat mengungkapkan masalah yang ada dengan baik.
Sasaran yang ingin dicapai dengan komunikasi yang suportif ini bukanlah semata-mata agar kita disukai orang di perusahaan atau dianggap sebagai orang baik. Dan bukan juga semata-mata agar kita dapat diterima secara sosial di perusahaan. Bukanlah hal yang salah bila kita disukai atau diterima secara sosial bila kita mampu berkomunikasi secara efektif. Namun yang lebih utama adalah apabila kita bersama-sama dengan karyawan lainnya mampu melakukan komunikasi yang suportif ini, maka hal ini antara lain akan membantu organisasi untuk meningkatkan produktifitas kerja dan mengurangi konflik yang terjadi. Menurut David E. Whetten dan Kim S. Cameron (2002), para peneliti menemukan bahwa organisasi-organisasi yang memelihara pola komunikasi yang suportif menikmati produktifitas yang lebih tinggi, pemecahan masalah yang lebih cepat, hasil kerja yang berkualitas, lebih sedikit konflik, dan aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan kepentingan organisasi dibandingkan kelompok atau organisasi-organisasi lainnya yang pola komunikasinya kurang positif.
Komunikasi yang suportif ini menciptakan suasan saling mendukung, saling memahami, dan saling membantu. Dengan demikian dapat membantu seseorang untuk mengatasi dua hambatan besar dalam berkomunikasi, yang terjadi karena buruknya komunikasi interpersonalnya, yaitu muncunya reaksi defensif dan diskonfirmasi (penilaian yang tidak tepat/sesuai tentang diri sendiri)
Komunikasi yang suportif ini mempunyai 8 karakteristik, yang akan saya bahas secara singkat satu persatu berikut ini :
1. Komunikasi yang suportif berorientasi pada masalah dan bukan pada orang dan karakteristiknya.
Contoh : "Bagaimana caranya agar kita dapat menyelesaikan masalah ini ?" dan bukan " Karena andalah masalah ini terjadi !"
2. Komunikasi yang suportif didasarkan atas kesesuaian antara hal-hal yang dikomukasikan secara verbal/non-verbal dengan hal-hal yang dipikirkan dan dirasakan oleh seseorang (Based on congruence, not inconruence). Di sini terkandung unsur kejujuran dalam melakukan komunikasi.
contoh : " Tindakan anda membuat saya kecewa " dan bukan " Apakah saya terlihat kecewa ? Saya tidak kecewa, kelihatannya semua tidak ada masalah."
3. Komunikasi yang suportif bersifat deskriptif dan tidak evaluatif
contoh : " Ini adalah usulan pemecahan masalah yang dapat saya sampaikan." dan bukan " Anda salah telah melakukan hal tersebut."
4. Komunikasi yang suportif membantu orang untuk merasa dihargai, diterima dan bernilai (validating, not invalidating people)
contoh : " Walau saya punya ide, namun saya akan sangat menghargai bila anda juga dapat menyampaikan ide anda." dan bukan " Anda tidak akan mengerti, lebih baik mengikuti cara saya."
5. Komunikasi yang suportif bersifat speifik dan tidak umum.
Contoh : " Anda telah terlambat hadir di kantor selama 3 kali dalam minggu ini, hari Senin, Kamis, dan Jum'at." dan bukan " Anda beberapa kali terlambat hadir di kantor dalam minggu ini."
6. Komunikasi yang suportif, menghubungkan pesan baru yang disampaikan dengan pesan sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan interaksi
contoh : " Berkaitan dengan pernyataan anda sebelumnya, saya ingin mengemukakan pandangan yang lain." dan bukan " Saya ingin mengemukakan pandangan saya (tidak terkait dengan penyataan anda sebelumnya)
7. Komunikasi yang suportif mendorong kita untuk memiliki dan bertanggung jawab terhadap pernyataan-pernyataan yang kita kemukakan (owned not disowned) dengan menggunakan kata "Saya"
contoh : " Saya telah memutuskan untuk tidak mengabulkan permohonan anda, karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku." dan bukan " Anda telah mengajukan permohonan yang menarik, tapi kelihatannya akan sulit untuk disetujui."

8. Komunikasi yang suportif mendorong seseorang untuk mendengarkan dan memberikan tanggapan yang efektif terhadap penyataan-peryataan yang disampaikan oleh orang lain.
Contoh : " Menurut anda, apakah yang dapat menghambat upaya untuk memperbaiki prestasi anda?" dan bukan " Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, anda telah membuat kesalahan terlalu banyak, sehingga anda tidak beprestasi dengan baik."

Diterjemahkan oleh Arbono Lasmahadi dari :
" What is Supportive Communication ? Developing Management Skills, page 220-232. 5th Edition. David E. Whetten & Kim S. Cameron. Pentice Hall, New Jersey, 2002.

Saat "Executive Search" Menghubungi Anda

Saat "Executive Search" Menghubungi Anda

Arbono Lasmahadi
Sumber : www.e-psikologi.com


Sandra (bukan nama sebenarnya) adalah seorang Kepala Divisi Sumber Daya Manusia di sebuah perusahaan multinasional asing, PT. Shield Food Industries - SFI ( Bukan nama sebenarnya). Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan pengembangan teknologi pangan. Sepanjang karirnya yang hampir mencapai 15 tahun, ia habiskan diperusahaan tempatnya bekerja saat ini. Ia memulai karirnya sebagai Personnel Assistant. Karena kemampuan dan kesempatan yang ada, ia mampu meraih karir puncak di perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Sebenarnya Sandra menikmati pekerjaannya saat ini, yang telah ia jalani selama kurang lebih 5 tahun. Namun demikian , belakangan ini muncul beberapa tawaran menarik dari sejumlah executive search, yang cukup mengganggu pikirannya juga. Bagaimana tidak mengganggu, bila posisi yang ditawarkan adalah sebagai Direktur Sumber Daya Manusia di beberapa perusahaan multinasional asing terkemuka. Buat Sandra, tawaran-tawaran ini merupakan kesempatan emas baginya untuk mengembangkan karir lebih lanjut. Disamping itu, tawaran remunerasi yang cukup menarik juga merupakan hal yang menjadi pertimbangannya. Hal lain yang menjadi faktor yang mendorongnnya untuk pindah perusahaan adalah struktur organisasi di tempatnya bekerja saat belum memungkinkan seorang pemimpin SDM dianggap setingkat dengan posisi seorang Direktur. Artinya tidak ada jaminan bagi Sandra untuk menjadi seorang Direktur SDM di PT. SFI kelak. Namun demikian, disamping faktor-faktor yang menarik dan mendorongnya untuk pindah , ada juga hal-hal lain yang cenderung menahannya untuk tetap bekerja di PT. SFI. Sandra cemas tawaran-tawaran ini akan menjadi beban bagi dirinya, mengingat bahwa sebagai seorang direktur, sudah tentu beban kerja yang dibebankan kepadanya akan lebih berat dibandingkan dengan beban kerjanya saat ini. Selain itu, sudah cukup lama dirinya tidak pindah kerja,. Dia khawatir bahwa suasana kerja yang sudah begitu akrab dengannya akan hilang begitu ia pindah ke perusahaan lain. Sandra belum sepenuhnya yakin tentang penilaian yang diberikan oleh para “Executive Search” tentang kemampuannya, merupakan sebuah penilaian yang obyektif, dan tidak berlebihan.

Ilustrasi seperti yang dihadapi oleh Sandra di atas, bukanlah sesuatu hal yang asing yang dihadapi oleh para praktisi SDM dan juga praktisi lainnya, walaupun dalam tingkatan yang berbeda beda. Khususnya bagi para praktisi SDM yang berpengalaman dan kompeten, tawaran untuk pindah kerja akan datang dengan sendirinya dari para “Executive Search”. Hal ini mengingat populasi praktisi SDM yang relatif kecil dibandingkan dengan profesi lainnya. Berdasarkan pengalaman penulis, biasanya rasio yang umum antara praktisi SDM dengan jumlah total karyawan di perusahaan adalah 1:100. Bahkan di sejumlah perusahaan, ratio ini menjadi lebih besar. Dengan demikian berarti 1 orang staf Departemen/Divisi SDM melayani 100 orang karyawan. Dari jumlah karyawan yang ada di Departemen/Divisi SDM biasanya hanya sekitar 10-20 % saja yang merupakan Manajer. Yang lainnya merupakan Supervisor atau staf biasa. Para Manajer inilah yang biasanya menjadi sasaran dari para “Executive Search”.

Dari data-data di atas, dapatlah dilihat bahwa memang “supply” dari pasar tenaga kerja, khususnya di bidang SDM lebih sedikit dibandingkan dengan permintaan yang ada. Walaupun saat ini banyak perusahaan yang tutup, dan banyak praktisi SDM yang juga terkena imbas, hal ini tidak meningkatkan “supply” praktisi SDM di pasar tenaga kerja, khususnya “supply” tenaga kerja yang kompeten. Menurut pengamatan penulis, biasanya para praktisi SDM yang berpengalaman dan kompeten akan cepat terserap di pasar tenaga kerja. Mereka yang tidak terserap, umumnya adalah yang usianya relatif sudah cukup lanjut, tidak terlibat dalam “HR Network” yang ada, terlalu memilih-milih pekerjaan, atau tidak kompeten. Menurut pengalaman dan pengamatan penulis , langkanya “supply” praktisi SDM di pasar tenaga kerja disebabkan oleh beberapa hal, sebagai berikut :
1. Para praktisi SDM memilih tetap bekerja di perusahaannya saat ini apabila kondisi perusahaan dirasakan cukup dapat memberikan jaminan keamanan sosial dan ekonomi bagi mereka. Mereka tidak berani mengambil resiko bahwa perusahaannya yang baru akan dapat memberikan keamanan sosial dan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan tempat mereka bekerja saat ini.
2. Para praktisi SDM sedang menunggu dan mengamati perbaikan kondisi ekonomi di Indonesia. Saat kondisi ekonomi membaik, akan muncul banyak kesempatan kerja baru, ada kemungkinan mereka akan pindah kerja apabila ada tawaran yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang mereka terima saat ini. Tawaran itu bisa berupa karir yang lebih baik, paket remunerasi yang lebih baik, atau kombinasi dari kedua hal tersebut.
3. Paket remunerasi yang diberikan oleh perusahaan tempat para praktisi SDM bekerja saat ini relatif sangat baik. Hal ini membuat mereka enggan untuk pindah kerja karena sangat sedikit perusahaan yang dapat memberikan menawaran yang lebih menarik dari perusahaan tempat mereka saat ini bekerja.
4. Jenjang karir yang relatif cukup baik, terbuka, dan menantang yang ditawarkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja saat ini, baik bersifat lokal, regional, maupun global. Kondisi ini umumnya terjadi di perusahaan Multinasional Asing. Namun demikian saat ini juga cukup banyak perusahaan nasional yang baik pula dalam hal yang berkaitan dengan karir.

A. Menanggapi Tawaran Karir dari “Executive Search”

Walaupun pasar tenaga kerja bagi para praktisi SDM bisa dikatakan cukup langka, namun demikian tampaknya para praktisi SDM perlu lebih bijaksana dalam menanggapi tawaran-tawaran yang datang dari para “Executive Search” ini, karena bisa jadi tawaran karir yang menggiurkan ini memang benar adanya atau dapat menjadi sebuah beban yang sulit untuk ditangani dengan baik. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam menanggapi tawaran yang diberikan oleh para “Executive Search”. Berdarakan pengalaman penulis, ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh para praktisi SDM, sebagai berikut :

1. Menanggapi Tawaran Bila Anda Tidak Tertarik untuk Pindah Kerja
Saat muncul tawaran dari “Executive Search”, sebaiknya anda tidak langsung menolak atau menerima. Hal ini penting untuk menjaga hubungan baik dengan mereka. Karena sebagai bagian dari “networking” di bidang SDM, peran para “Executive Search” ini tidak dapat diabaikan. Beberapa tip berikut ini dapat anda lakukan untuk menanggapi tawaran tersebut, khususnya bila anda belum berkeinginan untuk pindah kerja :
a. Bila anda merasa bahwa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk pindah kerja atau anda tidak tertarik dengan pekerjaan yang ditawarkan, sampaikanlah kepada mereka bahwa anda berterima kasih atas tawaran tersebut, walaupun saat ini anda belum dapat memenuhi tawaran tersebut karena ada prioritas lain yang masih membuat anda tetap pada pekerjaan anda sekarang . Sebaiknya tidak pernah mencoba untuk melanjutkan proses ini bila anda memang tidak berniat pindah kerja atau anda hanya sekedar ingin mengetahui “nilai” anda di pasar tenaga kerja.. Hal ini kelak akan dapat mengganggu hubungan anda dengan “Executive Search” bersangkutan.
b. Walapun anda belum dapat memenuhi tawaran mereka saat ini, tawarkan kepada mereka resume lengkap anda, yang dapat digunakan untuk keperluan anda dan juga mereka di masa yang akan datang. Hal ini penting mengingat bahwa pilihan dan prioritas karir kita dapat berubah setiap saat. Dalam perubahan ini, “Executive Search” dapat membantu anda.
c. Akhiri pembicaraan dengan menyatakan penghargaan anda atas tawaran yang diberikan dan juga ungkapkan keinginan anda untuk tetap berhubungan baik dengan mereka.
2. Menanggapi Tawaran Bila Anda Tertarik Untuk Pindah Kerja
Bila anda tertarik dengan tawaran yang ada beberapa tip berikut ini dapat membantu anda untuk menindak-lanjuti hal tersebut :
a. Sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan anda untuk tawaran yang diberikan.
b. Sampaikan kepada mereka bahwa anda tertarik dengan tawaran yang ada, namun membutuhkan informasi awal yang berkaitan dengan tawaran tersebut untuk mempertimbangkan langkah lebih lanjut. Informasi awal yang perlu anda ketahui adalah : (1) jenis pekerjaan yang ditawarkan (2) Jenis usaha yang dijalankan oleh klien mereka (3) bentuk usaha mereka (Nasional , Multinasional, “Joint Venture”, dll). Pada tahap ini, biasanya “Executive Search” bersangkutan belum bersedia memberikan nama lengkap perusahaan, berkaitan dengan kode etik. Namun umumnya mereka bersedia mengungkapkan jenis bisnis dan bentuk usaha dari perusahaan yang menawarkan pekerjaan.
c. Carilah informasi sebanyak mungkin mengenai “Executive Search” yang bersangkutan (bila anda belum pernah berhubungan dengan mereka), dengan meminta mereka untuk memberikan alamat “web-site” mereka (bila ada) yang dapat anda dikunjungi atau brosur-brosur yang dapat mereka berikan kepada anda. Informasi ini akan sangat berguna bagi anda dalam melakukan analisa tentang kualitas kerja mereka dan kualitas para pelanggan mereka.”Executive Search” yang baik, biasanya akan memberikan informasi sebanyak mungkin mengenai jati diri mereka.
d. Bila anda tertarik dengan informasi awal tersebut, anda dapat mengirimkan resume lengkap anda (termasuk paket remunerasi yang anda peroleh saat ini) untuk digunakan oleh “Executive Search” bersangkutan (bila data anda belum ada dalam bank data mereka) atau mengizinkan “Executive Search” untuk menggunakan resume anda yang ada dalam bank data mereka untuk keperluan klien mereka. Bila anda tidak tertarik dengan informasi awal tersebut, karena tidak sesuai dengan harapan anda, sebaiknya anda dapat menyampaikan hal tersebut secara terbuka dan jujur kepada “Executive Search”. Bila anda ragu-ragu, sebaiknya anda mendiskusikan hal tersebut lebih lanjut dengan “Executive Search” yang bersangkutan untuk memastikan keinginan anda dan menghilangkan keragu-raguan anda.
e. Segera setelah “Executive Search” memberikan lampu hijau dari klien mereka tentang ketertarikan klien mereka untuk bertemu dengan anda, mintalah informasi mengenai proses selanjutnya akan dihadapi oleh anda kepada “Executive Search”. Informasi yang anda dapat tanyakan kepada mereka antara lain : (1) tahapan yang harus dilalui dalam proses seleksi (wawancara, pengukuran psikologis, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan referensi, dll), (2) lamanya proses seleksi, (3) pihak-pihak yang terlibat dalam proses seleksi (4) Waktu yang diharapkan oleh klien kepada calon untuk bergabung dengan klien. Mungkin tidak semua pertanyaan dapat dijawab oleh “Executive Search”, karena mungkin klien mereka belum memberikan informasi yang lengkap kepada mereka.. Namun setidaknya sebagian jawaban dapat anda peroleh, yang dapat anda gunakan untuk mempersiapkan diri anda secara fisik dan mental. Pertanyaan yang tidak terjawab ini akan menjadi bahan pertanyaan dalam proses seleksi selanjutnya.
f. Upayakan agar proses seleksi dilakukan di luar jam kantor. Namun apabila hal ini tidak memungkinkan, sebaiknya anda mengambil cuti untuk mengikuti proses seleksi ini.Dengan demikian anda mempunyai keleluasaan’ kesiapan, dan ketenangan untuk mengikuti proses seleksi. Semaksimal mungkin, hindarilah mengikuti proses seleksi pada jam kantor. Selain hal ini akan mengganggu pekerjaan anda, perusahaan tempat anda bekerja sebenarnya dirugikan.

3. Mengikuti Proses Seleksi
Secara umum, proses seleksi dilakukan melalui tahapan berikut : seleksi awal terhadap aplikasi yang masuk, wawancara dengan pengguna langsung dan atasan pengguna , pengukuran psikologis, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan referensi, penawaran paket remunerasi, dan penanda-tangan kesepakatan kerja. Dalam kasus ini rekrutmen dan seleksi awal telah dilakukan oleh ‘Executive Search” . Ada sejumlah tip yang dapat dipertimbangakn oleh para praktisi SDM saat mengikuti proses seleksi ini, seperti berikut :

a. Sebelum anda mengikuti proses wawancara , carilah informasi mengenai alamat “web-site” dari perusahaan yang menawarkan pekerjaan. Informasi ini dapat anda peroleh dari ‘Executive Search” yang bersangkutan atau melalui portal di internet. Pada tahapan ini biasanya nama klien sudah diungkapkan kepada anda. Informasi dapat anda gunakan untuk mengetahui mengenai visi, misi dan strategi dari perusahaan, selain bisnis dan produk-produk mereka. Anda dapat menggunakannya untuk mempersiapkan diri anda. Buatlah catatan-catatan penting atau daftar pertanyaan mengenai perusahaan, berdasarkan informasi yang anda peroleh dari “web-site”.
b. Janganlah menyebar-luaskan informasi mengenai proses seleksi ini kepada pihak lain, tanpa persetujuan dari ‘Executive Search” dan atau kliennya.
c. Buatlah catatan-catatan penting mengenai diri anda yang dapat digunakan untuk membantu anda dalam proses seleksi. Usahakan catatan-catatan penting ini tidak bertentangan dengan informasi yang anda tuliskan di dalam resume. Informasi yang dimaksud antara lain : (1) motivasi anda untuk pindah kerja dan alasan yang membuat anda tertarik untuk pindah ke perusahaan yang bersangkutan (2) rencana karir anda (misalnya 5 tahun kedepan) (3) prestasi yang pernah anda capai (4) masalah-masalah yang pernah anda hadapi, dan cara anda menangganinya (5) gaya kepemimpinan anda (6) aspirasi anda (7) kekuatan dan kelemahan anda (8) pengetahuan teknis yang berkaitan dengan pekerjaan anda (9) daftar referensi anda yang dapat dihubungi. Dengan informasi-informasi tersebut di atas, anda akan lebih siap untuk mengikuti proses wawancara dibandingkan dengan kandidat lainnya.
d. Mengenali lokasi tempat wawancara dilakukan. Hal ini untuk membantu anda untuk membuat perencanaan waktu lebih baik dan mencegah terjadinya keterlambatan. Bila anda terlambat hadir di lokasi wawancara, maka hal ini akan mengganggu kesiapan fisik dan mental anda untuk mengikuti wawancara. Keterlambatan dapat membuat persiapan yang sudah anda lakukan sebelumnya menjadi berantakan. Selain itu, perusahaan yang bersangkutan mungkin akan memberikan penilaian yang kurang baik terhadap anda.
e. Ajukanlah pertanyaan kepada pewawancara bila kesempatan itu diberikan kepada anda. Mintalah informasi sebanyak mungkin mengenai perusahaan dan pekerjaan yang ditawarkan (deskripsi kerja, target-target yang dibebankan, garis pelaporan, jumlah bawahan, kemungkinan hambatan-hambatan yang dihadapi, dan sebagainya). Pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan ini dapat menciptakan kesan positif dari pewawancara terhadap ketertarikan anda kepada perusahaan dan keseriusan anda untuk mengikuti proses seleksi ini
f. Setelah proses wawancara selesai dilakukan, lakukan analisa terhadap pekerjaan yang ditawarkan dengan membandingkannya dengan pekerjaan anda saat ini. Hal ini untuk memastikan bahwa pekerjaan yang ditawarkan memang mempunyai prospek karir yang lebih baik. Analisa yang dilakukan termasuk resiko-resiko yang akan terjadi bila anda memutuskan pindah kerja. Gunakanlah analisa SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) dalam membantu anda mengambil keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan proses seleksi ini.
g. Apabila ada permintaan dari perusahaan bersangkutan kepada anda untuk mengikuti proses pengukuran psikologis, sebaiknya anda tidak menolaknya. Ketidak-sediaan anda untuk mengikuti proses ini, walaupun dengan yang rasional sekalipun, dapat dianggap sebagai arogansi. Hal ini dapat menimbulkan penilaian negatif perusahaan atau “Executive Search” yang bersangkutan kepada anda. Berdasarkan pengalaman penulis, tidak sedikit kandidat yang tidak bersedia mengikuti proses ini dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah mereka menganggap bahwa hal ini hanya patut dilakukan kepada level posisi yang lebih rendah, dan tidak untuk level eksekutif. Hal ini sebenarnya tidak tepat. Metode pengukuran psikologis yang lebih maju, dapat mengukur semua level jabatan ada dengan lebih baik dan lebih cepat.
h. Apabila setelah proses wawancara dan pengukuran psikologis dilakukan, perusahaan yang bersangkutan menganggap anda sebagai kandidat yang tepat untuk menduduki posisi yang lowong, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pihak perusahaan adalah menghubungi “Executive Search”. Perusahaan akan meminta ‘Executive Search” untuk mendiskusikan paket remunerasi yang anda harapkan dan yang perusahaan mungkin dapat berikan. Dalam tahap ini, sebaiknya anda bersikap terbuka dan mengeksplorasi semua pilihan yang ditawarkan. Hasil diskusi ini akan menjadi dasar bagi perusahaan untuk membuat paket penawaran resmi secara tertulis untuk ditawarkan kepada anda. Dengan proses diskusi ini, diharapkan kemungkinan penolakan dari kandidat terhadap paket yang ditawarkan menjadi lebih kecil.
i. Saat penawaran tertulis diterima oleh anda mintalah kepada “Executive Search” bersangkutan untuk memberikan waktu kepada anda dalam mempertimbangkan tawaran tersebut dan berjanji untuk memberi jawaban sesegera mungkin. Dalam membuat pertimbangan, ada beberapa hal yang perlu anda perhatikan (1) Besarnya perbedaan antara remunerasi yang ditawarkan dengan yang anda harapkan. Bila perbedaannya naiknya remunerasi anda sangat besar, anda perlu lebih bijak dalam mengambil keputusan karena ada kemungkinan bahwa pekerjaan yang akan anda pegang nanti mempunyai resiko dan beban yang jauh lebih berat dari yang anda bayangkan (2) Ukuran kewajaran antara kemampuan yang anda miliki dengan besarnya remunerasi dan pekerjaan yang ditawarkan (3) Ada tidaknya kesempatan pengembangan karir bagi anda (4) Kesesuaian antara tenggang waktu yang anda minta dengan yang mereka minta untuk bergabung. Biasanya berkisar antara 2-3 bulan untuk posisi Manajer. Hal ini penting bagi anda untuk merencanakan proses timbang terima dengan pengganti anda kelak di perusahaan tempat anda bekerja saat ini.
j. Sampaikan keputusan anda kepada perusahaan melalui “Executive Search” yang bersangkutan sesegera mungkin. Bertindaklah proaktif dengan berupaya untuk menghubungi mereka terlebih dahulu, dan tidak menunggu mereka menghubungi anda. Bila anda memutuskan untuk tidak menerima tawaran tersebut, sampaikanlah alasan yang jelas dan masuk akal. Hal ini penting untuk membangun kesan positif atas profesionalisme anda di mata mereka. Bila anda menerima tawaran tersebut tanda-tanganilah surat penawaran itu segera, dan kembali salah satu salinan kepada pihak perusahaan.
k. Sebaiknya anda tidak pernah menggunakan perjanjian tertulis ini untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan tempat anda bekerja saat ini. Hal ini akan menurunkan kredibilitas anda di mata pihak perusahaan tempat anda bekerja, maupun di mata “Executive Search” dan kliennya.
l. Sebaiknya anda tidak pernah membatalkan secara sepihak dan tanpa alasan yang rasional kesepakatan kerja tertulis yang pernah anda buat dengan pihak klien dari ‘Executive Search” . Hal ini juga berkaitan dengan kredibilitas anda.

Kesimpulan

Bagi seorang praktisi SDM yang kompeten dan mempunyai pengalaman yang cukup luas, kesempatan untuk meningkatkan karir di perusahaan lain akan semakin terbuka. Salah satu cara yang umum terjadi saat ini adalah melalui bantuan dari “Executive Search”. Terkadang tanpa kita ketahui sumbernya, mereka menghubungi anda sebagai praktisi SDM untuk menawarkan kesempatan karir. Menanggapi tawaran ini, sebaiknya anda bersikap dan bertindak lebih bijak dan berhati hati, sehingga tidak menimbulkan kesan yang negatif di mata “Executive Search”. Sebagai salah satu pemain penting dalam “Networking” di dunia SDM, peran ‘Executive Search” tidak dapat diabaikan. Memang tidak semua tawaran yang datang itu perlu diterima atau ditolak. Ada baiknya bagi anda untuk menganalisa lebih lanjut sebelum mengambil keputusan , mengenai :
1. Ada tidaknya keinginan di dalam diri anda untuk pindah kerja
2. Kesempatan karir yang ada di perusahaan tempat anda bekerja saat ini.
3. Jenis pekerjaan yang ditawarkan
4. Kualitas dari “Executive Search” yang bersangkutan
5. Jenis usaha dan bentuk usaha dari perusahaan yang menawarkan karir
6. Besarnya remunerasi yang ditawarkan

Dengan analisa-analisa tersebut di atas, diharapkan dapat membantu anda untuk membuat pilihan karir yang tepat. Dengan demikian dapat menghindarkan anda dari kesalahan yang fatal, yang membuat karir anda tersendat.