Senin, 26 November 2007

Kecerdasan Spiritual Memasuki Relung Hati Para Pelaku Bisnis

Kecerdasan Spiritual - Memasuki Relung Hati Para Pelaku Bisnis
oleh Arbono Lasmahadi

Muhamad Yunus, seorang Doktor Ekonomi lulusan Amerika Serikat. Pada awalnya dia sangat antusias untuk mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan kepada para mahasiswanya. Belakangan dia merasa bahwa hal-hal yang diajarkannya ternyata hanyalah rekaan semata yang tidak memberikan makna kepada kehidupan manusia. Di sekeliling kampus tempatnya mengajar, dia menemukan banyak orang-rang miskin yang sedang menantikan kematiannya, dan dia menganggap ilmu ekonomi yang ia ajarkan tidak dapat membantu mereka, kaum papa.Puncak dari perubahan hidupnya terjadi, saat dia bertemu dengan seorang wanita pembuat bangku dari bambu. Setelah berdiskusi panjang dengan pembuat bangku tersebut, dia menemukan bahwa sang wanita itu hanya memperoleh keuntungan 2 penny Dolar Amerika untuk hasil kerja kerasnya dan untuk sebuah bangku bambu yang cantik. Bagaimana mungkin hal ini terjadi ? Wanita itu kemudian menjelaskan kepadanya bahwa keuntungan yang kecil ini terjadi karena dia tidak mempunyai cukup modal untuk membeli bambu, untuk membuat bangku. Akibatnya dia harus membelinya dari seorang pedagang. Pedagang inilah yang kemudian membuat aturan bahwa wanita itu harus menjual hasil karyanya kepada pedagang itu, dengan harga yang ditentukan oleh pedagang tersebut. Peristiwa itulah yang telah mengusik hati nuraninya dan mendorong dirinya pada akhirnya untuk membangun sebuah bank yang khusus membantu dan melalayani kaum papa di Bangladesh.Lewat perjuangan panjang dan tidak kenal lelah, Karena adanya keengganan dari bank bank swasta yang ada untuk membantu, Muhamad Yunus akhirnya berhasil mendirikan Grameen Bank di Bangladesh,berkat bantuan dari Pemerintah Bangladesh.Sebuah bank yang hidup dan berkembang dengan cara memberikan pinjaman uang kepada orang-orang miskin yang hidup di desa-desa di Bangladesh. Grameen Bank,sekarang telah berkembang pesat dan beroperasi di 46.000 desa di Bangladesh, dan mempunyai 1.267 kantor cabang dan 12.000 karyawan. Bank ini telah mampu menyalurkan pinjaman sebesar lebih dari 4.5 milyar Dolar Amerika, dalam bentuk pinjaman yang besarnya antara lain sekitar 12-15 Dolar Amerika, dengan rata-rata pinjaman 200 Dolar Amerika. Bank ini bahkan telah mampu memberikan pinjaman kepada para pengemis agar tidak lagi mengemis, dan untuk mulai berupaya berdagang, sebagai mata pencahariannya.

Kondisi yang mirip terjadi pada Mats Lederhausen, seorang profesional muda yang meraih puncak karir pada usia 30-an. Chief Executive sebuah perusahaan cepat saji dunia McDonald yang mempunyai cabang di Swedia ini pernah mengalami dilema karir. Mats tidak bahagia dengan kendati keluarganya harmonis dan berkelimpahan uang .Ia gamang dengan pekerjaan yang ditekuninya dan ingin hidupnya menjadi lebih bermakna dengan berupaya secara aktif untuk terlibat dalam kegiatan perbaikan lingkungan. Hal itu secara nyata belumlah dilakukan dengan baik oleh perusahaan tempatnya bekerja. Hingga ia merasa bahwa kerja kerasnya selama 13 jam sehari, tidak memberikannya arti bagi kehidupannya, karena dia tidak mengabdikan dirinya pada hal-hal yang sangat dia pentingkan. Kondisi ini yang membuat Mats mengambil keputusan untuk membuat surat kepada pimpinan perusahaannya di Amerika Serikat, yang berisi keprihatinannya atas ketidak-pedulian perusahaan atas permasalahan lingkungan hidup. Kejutan terjadi, karena Mats ternyata diundang untuk mempresentasikan gagasannya di kantor pusat di Chicago, dan kemudian diangkat menjadi Vice President Strategy , yang bertanggung jawab untuk membantu perusahaan dalam menangani isu-isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kepedulian sosial.

Peristiwa yang terjadi pada baik pada Mats Lederhausen dan Muhamad Yunus menggambarkan apa yang disebut sebagai adanya Kecerdasan Spiritual pada diri mereka. Kecerdasan spiritual adalah, sebuah kecerdasan yang memberikan kesadaran bahwa hidup mempunyai dimensi yang lebih dalam ketimbang sekedar menghabiskan waktu untuk memupuk modal material. (Zohar & Marshall, 2004). Menurut Stephen R. Covey dalam bukunya The 8th Habit – From Effectiveness to Greatness (2004), Kecerdasan Spiritual adalah pusat dan dasar dari semua kecerdasan yang ada (Fisik, Mental, dan Emosional), karena menjadi sumber petunjuk bagi ketiga kecerdasan tersebut. Kecerdasan spiritual mewakili dorongan kita untuk memperoleh makna dari kehidupan dan menghubungkan kita dengan Sesuatu yang Maha tanpa batas atau Maha tak terhingga. Ia juga dapat membantu kita untuk melihat prinsip-prinsip kebenaran yang juga merupakan bagian dari hati nurani kita. Dalam bukunya SQ : Connecting with Our SpiritualIntelligence, Danah Zohar dan Ian Marshal mengatakan " Tidak seperti halnya IQ (Kecerdasan Intelektual) , yang dimiliki oleh komputer, dan EQ (Kecerdasan Emosi) yang dimiliki oleh mamalia tingkat tinggi, SQ (Kecerdasan Spiritual) secara unik hanya ada pada manusia, dan menjadi dasar yang paling penting bagi ketiga kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual menghubungkan kebutuhan manusia untuk memperoleh makna dalam kehidupannya , sebuah isu yang sangat berkaitan dengan bagian depan dari otak manusia......"Kecerdasan spiritual, saat inipun telah memasuki relung-relung dunia bisnis, dengan semakin berkembangnya spiritualisme di kalangan para pimpinan puncak perusahaan-perusahaan besar di dunia. Sebagai buktinya adalah kisah-kisah berikut

A. Soichiro Honda (pendiri Honda)Soichiro Honda adalah pendiri perusahaan otomotif raksasa Honda, yang memimpin 43 perusahaan yang berada di 28 negara. Ia tidak memiliki harta pribadi dan tinggal di rumah yang sederhana. Satu-satunya hobi yang amat disukainya adalah melukis di atas kain sutera. Bahkan ia tidak memberikan warisan kepada anak-anaknya, kecuali mengajarkan kepada mereka agar sanggup berusahan sendiri dan hidup mandiri.

B. Kyoto CeramicsPerusahaan besar yang bergerak di bidang semi-konduktor yang mampu mencapai omzet 400 juta Dolar Amerika dalam setahun. Keuntungan bersihnya setelah dipotong pajak adalah 12 %. Cara hidup pemimpinnya adalah amat sederhana, yaitu " memandang rendah kemewahan".

C. Konosuke MatsushitaKonosuke Matshushita adalah pendiri dan pemimpin bisnis raksasa kelas dunia Grup Matsushita. Selain sebagai enterpreneur, beliau adalah juga seorang pendidik dan filsuf yang sangat populer. Ia telah menulis sebanyak 46 judul buku, mulai tahun 1953 hingga 1990. Di akhir hayatnya, dia menyumbang 291 juta Dolar Amerika dari saku pribadinya dan 99 juta Dolar Amerika dari kas perusahaan untuk kepentingan kemanusiaan. Ia meninggal pada usia 94 tahun. Semboyan bisnisnya adalah " Life isn't only for bread" atau hidup bukanlah sekedar untuk sepotong roti.

D. Forum Diskusi Kepemimpinan – Harvard Business SchoolPada tanggal 11-12 APRIL, 2002, Diadakan pertemuan para pimpinan puncak perusahaan internasional dari berbagai jenis perusahaan yang membahas topik " Does Spritiuality Drive Success ?" Mereka membahas nilai-nilai spiritual yang mampu membantu mereka menjadi "powerful leaders". Pada akhir diskusi, mereka sepakat menyatakan bahwa paham spiritualisme mampu menghasilkan lima hal, yaitu :

1. Integritas dan kejujuran

2. Energi atau semangat

3. Inspirasi atau ide dan inisiatif

4. Wisdom atau kebijaksanaan

5. Keberanian dalam mengambil keputusan.

Semua sepakat dan setuju bahwa spiritualisme tebukti mampu membawa seseorang menuju tangga kesuksesan dan berperan besar dalam menciptakan mereka menjadi seorang powerful leader.

E. Bill GatesBill Gates menyerahkan +/- 40 % pendapatannya untuk PBB. Dia lebih suka berbicara tentang kepeduliannya terhadap kemanusiaan, ketimbang berbicara tentang penghasilan dan keberhasilannya.

F. Herman Arif – Vice President Sebuah perusahaan besarIa sangat peduli kepada nasib anak yatim piatu. Ia membelikan susu untuk anak-anak para korban banjir, dan memasukkan anak korban banjir yang sakit di Rumah Sakit Pondok Indah, pada kelas VIP.

G. Rahmat (bukan nama sebenarnya)Rahmat adalah pemilik properti raksasa di bilangan Pondok Indah. Nilai-nilai positif yang berusaha diterapkan di perusahaan miliknya terbilang unik. Ia sangat memperdulikan nasib seluruh karyawannya dan nasib fakir miskin yang senantiasa dia santuninya. Sikap disiplinnya yang sangat tinggi begitu terpancar dari caranya mengelola perusahaan, disamping sikapnya yang lain yang senantiansa memegang teguh kepercayaan. Ketiga sikap tadi, seperti peduli sosial, cinta kepada karyawan, dan disiplin tinggi, telah menjadikan grup usahanya mampu meraih sukses, walaupun dunia usaha sedang dilanda krisis. Sikap ini telah mengantarkannya pada garis orbit spiritual.

Kalau kita perhatikan pada kisah-kisah di atas, maka baik Soichiro Honda, Matsushita, Bill Gates, Rahmat maupun Herman Arief sebenarnya adalah para pelaku bisnis. Namun nampaknya semua perhitungan bisnis, perilaku usaha, serta sikap pofesionalismenya hanya tertuju pada nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai ini mungkin tidak mereka sadari, seperti kesederhanaan, kasih sayang yang tulus,kejujuran, kepedulian, kebersamaan , dan kesetiaan. Mereka memaknai nilai-nilai kehidupan bukan pada materi atau jumlah uang yang berhasil mereka kumpulkan, justru pada pencapaian nilai-nilai spiritual.Pada tahun 1990 Michael Persinger seorang ahli saraf telah berhasil membuktikan tentang eksistensi God Spot pada otak manusia . Hal ini kemudian diperkuat lagi oleh V.S. Ramachandran dam timnya dari California University pada tahun 1996, yang menyatakan bahwa God Spot atau pusat spiritual ini sudah "built in" pada otak manusia.Pada era tahun 1996, seorang ahli saraf Austria Wolf Singer menunjukkan bahwa pada dalam otak manusia ada proses saraf yang mempersatukan dan memberi makna pada pengalaman hidup kita.Jaringan saraf tersebut mengikat pengalaman berharga kita, dan mendorong kita untuk hidup lebih bermakna. Temuan ini disebut sebagai The Binding Problem. Dan memang pada kenyataannya , banyak diantara para pengusaha dan profesional , justru merasa hidupnya lebih bermakna, ketika sedang memberi dengan penuh kasih sayang;ketika bersikap peduli pada sesama; berlaku jujur pada orang lain dll; dan melakukan semuanya itu bukan karena uang, nama, atau jabatan.Perasaan lebih bermakna seperti tersebut di dalam cuplikan cerita di atas pada dasarnya adalah kebahagiaan spiritual.

Menurut Ary Ginanjar Agustian, pada dasarnya ada 4 macam kebahagiaan yang dirasakan manusia, yaitu :1.Kebahagiaan Material adalah kebahagian yang dirasakan seseorang saat ia memperoleh materi yang diinginkannya; misalnya uang, mobil, rumah, pakaian, dan sebagainya2.Kebahagiaan Intelektual adalah kebahagian yang dirasakan seseorang saat ia memperoleh tingkat ketrampilan atau pengetahuan tertentu yang ia cita-citakan; misalnya memperoleh gelar Sarjana,Master, Doktor, dan sebagainya3.Kebahagiaan Emosional adalah kebahagian yang dirasakan seseorang saat memperoleh pengakuan atau penghargaan atas upaya yang dilakukannya; misalnya memperoleh penghargaan sebagai karyawan terbaik, memperoleh penghargaan sebagai karyawan berprestasi terbaik, hasil kreasinya diakui oleh banyak orang, dan sebagainya.4.Kebahagiaan Spiritual adalah kebahagiaan yang dirasakan seseorang saat ia dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dan lingkungan sekitarnya yang membutuhkan; seperti memberi materi, kasih sayang, perhatian, kepeduliaan dan sebagainya.

Dari penjelasan di atas terlihat perbedaan yang paling mendasar antara kebahagiaan spiritual dan 3 kebahagiaan lainnya (materi,intelektual dan emosional) adalah pada memberi dan menerima. Kebahagiaan Spiritual diperoleh saat kita memberi kepada orang lain,sedang 3 kebahagiaan lainnya akan diperoleh saat kita menerima sesuatu yang kita inginkan atau butuhkan.

Career Anchors & Career Drivers

Career Anchors & Career Drivers
Oleh Arbono Lasmahadi

Istilah Career Anchor pertama digunakan oleh Prof. Edgar H. Schein, berdasarkan penelitian jangka panjang dan studi yang mendalam yang dilakukannya dari tahun 1961 - 1973 terhadap 44 alumni program Master di Sloan School of Management. Career Anchor (Jangkar Karier) sendiri didefinisikan sebagai motif-motif yang mempengaruhi cara orang untuk memilih dan mempersiapkan kariernya. Career anchor juga dideskripsikan sebagai sebuah elemen dalam konsep diri seseorang yang tidak akan mereka lepaskan atau korbankan, bahkan pada saat menghadapi kondisi sulit (Career Anchors - Discovering your real values; Edgar H. Schein, 1990). Berdasarkan hasil penelitiannya, Prof. Schein menyimpulkan bahwa ada
6 Jangka Karier, yaitu:

1. Kompetensi Manajerial. Tujuan karier dari para manajer adalah untuk mengembangkan kualitas interpersonal, analitikal, dan emosional. Orang yang menggunakan jangkar karier ini ingin mengelola orang, sebagai tujuan kariernya

2. Kompetensi Teknikal/Fungsional. Jangkar untuk para teknisi/spesialis adalah mengembangkan secara terus menerus bakat teknikal mereka. Orang-orang dengan jangkar ini tidak mencari posisi manajerial.

3. Keamanan . Orang-orang dengan jangkar karier ini ingin memperoleh situasi karier mereka stabil. Seringkali orang-orang ini mengikatkan dirinya dengan organisasi atau lokasi geografis tertentu. Orang-orang dengan tipe jangkar ini akan mengalami stres bila berhadapan dengan situasi kerja atau bisnis yang tidak stabil/bergejolak (Volatile)

4. Kreativitas. Orang-orang kreatif pada dasarnya mempunyai sifat enterpreneur pada dirinya. Mereka ingin membangun sesuatu yang seluruhnya merupakan hasil karyanya

5. Otonomi dan kemandirian. Jangkar karier untuk orang yang mandiri adalah keinginan untuk memperoleh kebebasan dari batasan-batasan yang ada di dalam organisasi. Mereka memberikan nilai otonomi dan mereka ingin atasan dan juga pekerjaan sesuai dengan langkahnya.

6. Kompetensi Teknologikal. Orang-orang dengan jangkar ini sangat tertarik dengan teknologi dan mempunyai keinginan untuk bekerja dengan teknologi di mana pun hal itu dimungkinkan. Orang-orang ini seringkali mudah menerima perubahan. Karena itu mereka biasanya sangat mudah beradaptasi.

Terinspirasi oleh penelitian Prof. Schein, Graham Green, dalam bukunya "The Career Change Handbook" (2003) mengembangkan sebuah konsep yang disebut sebagai Career Drivers, yang dideskripsikan sebagai daya penggerak atau motivator dalam diri seseorang yang mengarahkan mereka untuk mencapai sasaran yang berkaitan dengan kariernya, baik yang sifatnya berupa penghargaan langsung dari luar yang terlihat (misalnya kekayaaan), penguasaan terhadap suatu keahlian (misalnya menjadi spesialis yang paling dihormati) atau pencapaian keadaan yang diinginkan (misalnya : situasi kerja yang aman dan nyaman). Dengan Career Drivers model ini, Graham Green mengenali ada 9 drivers yang merupakan gabungan antara kebutuhan dan keinginan. Driver-driver ini menunjukkan hal-hal orang cari dalam kariernya, dan hal-hal yang menjadi kepedulian mereka dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka.

1. Driver : Kesejahteraan Material Hal yang dicari : Posisi dan standar hidup yang tinggi Kepeduliaan Utama : Kesejahteraan

2. Driver : Kekuasaan dan Pengaruh Hal yang dicari : Pengawasan terhadap orang lain dan sumber daya yang ada Kepedulian Utama : Dominasi

3. Driver : Makna Kehidupan Hal yang dicari : Melakukan sesuatu yang diyakini memberikan nilai dalam diri sendiri Kepeduliaan Utama : Kontribusi

4. Driver : Keahlian Hal Yang dicari : Pencapaian standar keahlian yang tinggi Kepedulian Utama : Penguasaan ilmu atau ketrampilan

5. Driver : Kreativitas Hal Yang dicari : Melakukan inovasi atau menjadi bagian dari inovasi Kepedulian Utama : Keaslian/originalitas

6. Driver : Afiliasi Hal yang dicari : Memelihara hubungan baik dengan orang lain pekerjaan Kepeduliaan Utama : Kedekatan/Hubungan dekat

7. Driver : Otonomi/kemandirian Hal yang dicari : Menjadi mandiri dan mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri Kepeduliaan utama : Melakukan pilihan sendiri

8. Driver : Keamanan Hal yang dicari : Masa depan yang pasti dan dapat diramalkan Kepedulian utama : Kepastian

9. Driver : Status Hal yang dicari : Pengakuan dan penghargaan dari lingkungan sekitar Kepedulian utama : simbol-simbol Yang manakah dari driver driver di atas yang merupakan preferensi anda? (ARL)

Sumber : 1.Mondy R, Wayne, Rober M. Noe, & Shane R. Premeaux. Human Resource Management, 8th Edition. Prentice Hall, 2002. 2. Green, Graham. The Caree Change Handbook, howtobooks. 2003 Tulisan di atas akan menjadi salah satu materi bahasan dalam Diskusi : Peran Evaluasi Psikologis dalam Pengelolaan Karier., dalam acara Off Member Gathering, pada tanggal 8 September, 2005 Pk. 19.00 - 21.30 di Lokananta Terrace Resto.

Sebuah Cara Pandang Yang Berbeda Terhadap Karir Anda

Sebuah Cara Pandang Yang Berbeda Terhadap Karir Anda
Oleh
Arbono Lasmahadi

Hilman (bukan nama sebenarnya) masih terlihat termenung di ruang kerjanya sejak pertemuan dengan atasannya pagi ini. Sebuah keputusan yang mengejutkan baru saja dia terima dari atasannya. Hilman termasuk dalam daftar nama-nama karyawan yang akan kehilangan pekerjaan, sehubungan dengan terjadinya pengurangan jumlah karyawan di perusahaannya. Dia tidak habis pikir, karir yang telah ia jalani selama hampir 20 tahun dengan PT. Tulus Abadi Sentosa (bukan nama sebenarnya) harus berakhir dengan duka yang mendalam baginya. Tadinya ia berpikir bahwa dedikasinya, pengabdian dan masa kerjanya selama ini sudah cukup membuatnya aman, dan tidak akan kehilangan pekerjaan. Namun ternyata cara pandang perusahaannya dalam melihat karir karyawannya telah berubah beberapa tahun belakangan ini. Hal ini terjadi karena tuntutan lingkungan bisnis, yang semakin ketat. Hilman saat ini sedang mengalami kebingungan karena selama ini ia kurang mempersiapkan dirinya dalam menghadapi situasi seperti saat ini.

Peristiwa yang terjadi pada Hilman di atas sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru terjadi. Menurut Stone (1998) di masa yang lalu, para karyawan bergabung dengan sebuah organisasi atau perusahaan dan berharap penuh bahwa mereka akan menghabiskan karirnya dan terus bekerja di perusahaan yang bersangkutan hingga masa kerjanya berakhir. Saat ini, karir yang sifatnya seumur hidup tersebut telah menjadi masa lalu. Mungkin naif kiranya bila kita menganggap bahwa ada orang yang bebas dari kemungkinan kehilangan pekerjaan, hanya karena mereka menggap dirinya telah melakukan pekerjaan dengan baik dan memberikan nilai tambah kepada organisasi.. Meningkatnya persaingan bisnis, membuat banyak perusahaan merubah cara pandangnya (paradigma) terhadap karir karyawan. Merger, akuisisi, dan restrukturisasi, menjadi kebijakan yang harus diambil oleh perusahaan agar tetap dapat bertahan di tengah persaingan yang ketat. Akibatnya kebijakan " Long Live Employment" mungkin dianggap kurang relevan lagi untuk diterapkan. Di perusahaan-perusahaan Jepang, yang dahulu terkenal dengan konsep "Long Live Employment"-nya, kini telah banyak yang meninggalkan konsep tersebut. Akibatnya banyak karyawan yang harus kehilangan pekerjaannya, namakala kebijakan tersebut diambil oleh manajemen perusahaan.
Situasi yang telah diuraikan di atas tentunya, akan sangat menyulitkan para karyawan, karena tidak mudah untuk mencari pekerjaan dalam situasi sulit seperti sekarang ini. Terlebih lagi bagi karyawan yang telah " terlanjur menginvestasikan" masa kerjanya di perusahaan, dan tidak pernah berencana untuk pindah kerja lagi di perusahaan tempatnya bekerja saat ini, seperti yang dialami oleh Hilman. Mungkin bila waktu dapat diputar ulang kembali, Hilman pasti sudah menyiapkan dirinya sebaik-baiknya agar selalu siap untuk menghadapi perubahan baik berupa merger, akuisisi, maupun restrukturisasi. Bagi perusahaan, situasi yang kurang menyenangkan ini juga sebaiknya menjadi sebuah tantangan bagi mereka untuk dapat menyiapkan sumber daya manusianya yang ada agar selalu siap menghadapi perubahan. Perubahan, yang konon kabarnya, menurut para ahli dan orang bijak merupakan sesuatu hal yang paling konsisten dalam hidup ini dan tidak dapat dihindarkan.

Kondisi tersebut di atas mengilhami kami untuk menurunkan artikel mengenai karir. Kami berharap informasi ini dapat menjadi sebuah bahan renungan yang berharga bagi kita semua terhadap karir yang saat ini sedang kita jalani. Sehingga kita semua selalu siap menghadapi perubahan, apapun bentuknya .

A. Pihak-Pihak Yang Berperan Dalam Perencanaan dan Pengembangan Karir

Charles Handy, seorang pakar di bidang manajemen berpendapat bahwa para karyawan harus mulai untuk melihat karir mereka sebagai sebuah urutan pekerjaan yang akan mereka jalani di organisasi yang sama atau berbeda. Handy menekankan bahwa para karyawan di masa kini harus memikirkan diri mereka, karena masa depan tidaklah dapat dijamin. Dalam situasi seperti ini, menurutnya, pendidikan menjadi sebuah investasi, sedangkan pengalaman yang beragam menjadi sebuah aset. Tetapi bagi mereka yang pada akhirnya hanya memiliki waktu sebagai bahan "transaksi sosial" dengan perusahaan, masa depan yang suram akan semakin mengintai. Mereka-mereka yang paling mungkin menderita oleh situasi ini adalah orang dewasa muda yang mempunyai tingkat pendidikan yang terbatas, para pekerja setengah terampil, karyawan berusia di atas 40 tahun pada organisasi yang besar, dan karyawan yang masih berharap dapat bekerja hingga 30 tahun dengan perusahaan yang sama (Stone, 1998)

Perubahan yang terjadi begitu pesatnya di lingkungan bisnis membuat karyawan menjadi rawan terhadap kehilangan pekerjaan. Untuk itulah perencanaan karir menjadi sangat penting, karena saat ini keamanan kerja tidak lagi diukur dengan adanya tidaknya pekerjaan yang dimiliki seseorang, atau besar kecilnya ukuran organisasi tempatnya bekerja, namun diukur dari kemampuan seseorang untuk dapat mempekerjakan dirinya.
Pertanyaan yang muncul manakala kita membicarakan pentingnya perencanaan karir bagi seorang karyawan adalah "Siapakah yang sebaiknya berperan dalam membuat perencanaan karir seorang karyawan ?" Idealnya perencanaan dan pengembangan karir seharusnya dilihat sebagai sebuah sinergi yang melibatkan baik karyawan, maupun pihak perusahaan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Gary Dessler dalam bukunya Human Resource Management (2005), karyawan, manajer dan perusahaan semuanya memainkan peran dalam merencanakan, mengarahkan, dan mengembangkan karir seorang karyawan. Namun demikian karyawan harus selalu bertanggung jawab penuh terhadap pengembangan karirnya, dan kesuksesan karirnya. merupakan salah satu tugas yang sebaiknya tidak pernah diserahkan sepenuhnya oleh seorang karyawan kepada manajer atau perusahaan. Sayangnya banyak karyawan yang mengabaikan tugas ini, dan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan karirnya kepada manajernya atau perusahaan. Dengan posisi pasif seperti ini, berarti seorang karyawan telah menyerahkan penguasaan atas karirnya kepada perusahaan, membatasi kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan yang lain, dan mengurangi kesempatannya untuk mencapai karir yang diinginkannya. Di sisi lain, tidak semua perusahaan siap untuk membuat program perencanaan karir, karena masalah yang antara lain menyangkut alokasi dana, sumber daya manusia, dan struktur organisasi yang ada.

B. Peran Karyawan Dalam Perencanaan Karir
Seorang karyawan berperan dalam melakukan perencanaan karir pribadinya. Dia bertanggung jawab untuk terus meningkatkan ketrampilan yang dia miliki untuk memastikan bahwa dirinya mempunyai kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan pasar tenaga kerja Dia juga sebaiknya bertindak proaktif untuk melihat kesempatan yang ada, dan kemungkinan munculnya masalah dengan karirnya saat ini. Untuk itulah, ada baiknya seorang karyawan senantiasa dapat melakukan penilaian diri untuk mengenal aspirasi karir yang dia inginkan, mengukur kekuatan yang ia miliki dan hal-hal yang perlu ditingkatkan lebih baik lagi. Dengan perencanaan karir pribadi ini, seorang karyawan dapat menilai tingkat kesesuaian antara aspirasi karirnya dan karir yang dipegangnya saat ini. Dengan demikian dapat mengarahkan dirinya untuk memilih penugasan atau pekerjaan-pekerjaan yang lebih sesuai dengan aspirasi karirnya. Ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh seorang karyawan dalam menjalankan perannya untuk membuat perencanaan karirnya.

1. Tingkatkan network anda di dalam , maupun di luar perusahaan, misalnya
• Ikut terlibat dengan proyek-proyek atau kepanitiaan yang sedang berlangsung di perusahaan untuk lebih memahami rekan kerja dan juga proses bisnis di perusahaan.
• Mendiskusikan rencana karir anda dengan atasan anda atau dengan orang –orang yang anda anggap telah berhasil dalam karirnya.
• Melakukan "wawancara" informal dengan orang-orang yang mempunyai karir yang anda inginkan, untuk lebih memahami pekerjaan yang anda cita-citakan.
• Terlibat dalam kegiatan sosial atau asosiasi professional di luar jam kantor untuk dapat berinteraksi dengan orang-orang baru dan meningkatkan wawasan terhadap dunia kerja.

2. Bila anda cukup puas dengan pekerjaan anda saat ini, namun kurang puas dengan cara pengorganisasiannya, mungkin anda perlu melakukan rekonfigurasi pekerjaan anda, supaya anda tidak mengalami kejenuhan. Hal yang dapat dilakukan misalnya :
• mempertimbangkan alternatif pengaturan waktu kerja atau cara kerja anda, dari cara-cara yang umum berlaku saat ini. Misalnya : flexi time, kerja paruh waktu, bekerja dari rumah, dan sebagainya.
• melakukan pendelegasian kepada staf anda (bila memiliki staff), dan bila memungkinkan mencari penugasan-penugasan baru yang cukup menantang

3. Secara konsisten terus meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pekerjaan anda , maupun yang berkaitan dengan karir ang anda idam-idamkan. Misalnya
• mengikuti kegiatan pelatihan dan pengembangan yang diselengarakan oleh perusahaan atau atas inisiatif sendiri, bila memang perusahaan tempat anda bekerja tidak menyediakan program pelatihan dan pengembangan yang anda inginkan.
• mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh asosiasi professional atau diskusi-diskusi yang dilakukan di mailing list, yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan minat anda.

4. Bila memungkinkan memiliki mentor, yang dapat membantu anda untuk meningkatkan kepuasan dan kesuksesan karir anda. Mentor adalah seorang yang mempunyai posisi senior di perusahaan yang dapat menjadi semacam narasumber atau penasehat yang dapat memberikan bimbingan atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karir anda. Disinilah perusahaan dapat berperan untuk mendorong para senior manajernya agar bersedia meluangkan waktunya menjadi mentor, dan memberikan penghargaan kepada mereka atas kesediaannya tersebut. Namun demikian, pada akhirnya karyawan sendirilah yang paling berperan dalam mendapatkan seorang mentor dan membangun hubungan yang produktif dengannya. Bagaimana cara mendapatkan seorang mentor ? Garry Dessler dalam Bukunya " Human Resource Management (2005) ", mengungkapkan saran-saran sebagai berikut :

• memilih mentor potensial yang sesuai. Mentor ini sebaiknya seorang yang dapat memberikan saran yang objektif tentang karir kepada anda. Karena itulah sebaiknya bukan atasan langsung dari anda. Banyak orang yang mencari mentor yang merupakan seorang yang mempunyai jenjang karir setingkat atau 2 tingkat lebih tinggi dari atasan langsungnya. Bahkan bila memungkinkan seseorang di luar perusahaan.
• jangan patah semangat bila permintaan anda ditolak oleh mentor potensial anda. Tidak semua orang bersedia meluangkan waktu untuk profesi yang cukup menyita waktu itu. Jadi jangan kaget bila anda ditolak oleh pilihan pertama atau yang kedua.
• Jelaskan harapan yang ingin anda peroleh dari calon mentor anda, dari sisi waktu dan saran-saran, saat anda meminta kesediaannya untuk menjadi mentor. Dengan demikian akan membantu calon mentor anda untuk mengambil keputusan meneriman atau menolak permohonan anda
• Susunlah agenda yang jelas tentang masalah-masalah penting atau topic-topik yang akan menjadi bahan diskusi, dan bawalah pada pertemuan pertama mentoring.
• Menghargai waktu mentor. Selektiflah dalam memilih masalah pekerjaan yang akan didiskusikan dengan mentor anda. Ingatlah mentor anda bukanlah seorang konsultan pribadi anda. Lebih lanjut lagi, proses mentoring umumnya tidak melibatkan masalah-masalah pribadi.

B. Peran Perusahaan Dalam Perencanaan Karir Karyawan
Sejumlah kebijakan atau program dapat dibuat oleh perusahaan untuk mendukung pengembangan karir karyawan di perusahaan. Dengan adanya program ini, pihak perusahaan berharap dapat :
• Mensinergikan antara strategi bisnis perusahaan dan perencanaan tenaga kerja
• mempertahankan karyawan yang dikategorikan sebagai "High Potential" untuk dapat terus berkarya dan memberikan kontribusinya kepada pihak perusahaan.
• Mencegah terjadinya penumpukan karyawan-karyawan yang potensial pada satu bagian, yang dapat terjadi karena adanya kekhawatiran manajer yang bersangkutan bahwa kepindahan para karyawannya ke bagian lain akan membuat proses kerja di departemennya terganggu.
• membantu para karyawan untuk dapat memilih karir pada jabatan yang sesuai dengan aspirasi karirnya.
• meningkatkan kemampuan para karyawan untuk dapat menghadapi perubahan yang terjadi dengan baik, dengan meningkatkan kemampuan mereka untuk dapat mempekerjakan diri mereka sendiri (employability)
• meningkatkan kepuasan kerja karyawan
Berdasarkan survey yang pernah dilakukan terhadap 524 organisasi di Inggris Raya untuk menentukan tingkat penggunaan 17 macam penerapan manajemen karir, terungkap antara lain hal-hal di bawah ini, berdasarkan urutan tingkat kepopuleran :
• membuka lowongan pekerjaan secara internal
• memberikan pendidikan formal
• melaksanakan program penilaian karya yang berorientasi kepada karir
• konseling yang dilakukan oleh para manajer
• melaksanakan program pengembangan secara lateral
• konseling yang dilakukan oleh departemen SDM
• persiapan pension
• perencanaan suksesi (succession planning)
(Dessler, 2005)

Disamping program program yang telah disebutkan di atas perusahaan dapat mempersiapkan program mentoring dan mempersiapkan workshop yang berkaitan dengan karir untuk karyawan, untuk membantu karyawan dalam mempersiapkan rencana karirnya dengan baik.
C. Peran Manajer Dalam Perencanaan Karir
Terlepas dari ada atau tidaknya program manajemen karir di sebuah perusahan, seorang manajer dapat melakukan beberapa hal yang sederhana untuk membantu staf-nya dalam memenuhi kebutuhan pengembangan karirnya. Sebagai berikut :
• mendiskusikan tentang pentingnya menyusun sebuah rencana karir bagi seorang karyawan, saat pertama kali seorang staf memulai pekerjaan dan menawarkan bantuan yang diperlukan agar staf-nya dapat mencapai sasaran karirnya.
• membuat jadwal penilaian karya (performance appraisal) secara regular. Dalam kegiatan ini, manajer dapat menitikberatkan proses penilaian karya pada ketrampilan dan prestasi kerja saat ini yang diharapkan dapat sejalan dengan rencana karir staf yang bersangkutan.
• memberikan bantuan mentoring dan konseling apabila diperlukan
• memberikan semacam rencana karir
• menjelaskan manfaat yang ada di dalam program manajemen karir perusahaan, dan cara mereka memanfaatkan program yang ada tersebut secara efektif.

Sumber 1. Garry Dessler " Human Resource Management" 10th Edition – Prentice Hall , New Jersey, 2005.2. Raymond J, Stone. " Human Resource Management" 3rd Edition. John Wiley & Sons, Australia, 1998.
* Penulis adalah alumni program Pasca Psikologi – Universitas Indonesia, Program Studi SDM, yang saat ini bekerja sebagai seorang praktisi SDM di sebuah perusahaan multinasional asing

Bagaimana Mengelola Hubungan Industrial Tanpa Serikat Pekerja

Bagaimana Mengelola Hubungan Industrial Tanpa Kehadiran Serikat Pekerja
Arbono LasmahadiJakarta, 29 April 2004

Wajah Ginandjar tampak berseri-seri sore itu ketika ia baru saja keluar dari sebuah kantor di Kawasan Bisnis Segitiga Emas. Betapa tidak, Ia baru saja menanda-tangani kesepakatan kerja dengan sebuah perusahaan di Kawasan Elite tersebut, sebagai seorang Manajer di Divisi Sumber Daya Manusia (SDM). Di perusahaan yang baru ini dan dengan posisinya yang baru, Ginandjar akan mendapatkan tanggung jawab kerja dan wewenang yang lebih luas dari peran yang selama ini ia jalankan di perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Posisinya saat ini adalah sebagai Manajer Pelatihan dan Pengembangan yang bertanggung Jawab untuk mengelola proses rekrutmen dan seleksi , pelatihan dan pengembangan karyawan. Sementara di posisinya yang baru, ia akan bertanggung jawab untuk mengelola seluruh spektrum dari Fungsi SDM yang ada di perusahaan yang bersangkutan, yaitu dimulai dari proses rerutmen dan seleksi, pelatihan dan pengembangan, remunerasi, administrasi personalia, dan hubungan industrial, hingga penanganan masalah pensiun.

Bila melihat tanggung jawab yang akan diembannya di perusahaan yang baru, wajar saja bila Ginandjar cukup senang atas tantangan yang ditawarkan oleh perusahaan yang baru. Namun di balik keceriaan yang ditampilkannya sore itu, ada terbesit di dalam pikiran Ginandjar, satu peran baru yang membuatnya sedikit cemas, yaitu mengenai pengelolaan hubungan industrial di perusahaan. Masalahnya adalah adanya perbedaan persepsi yang ada pada dirinya mengenai hubungan industrial dengan keinginan dari pihak manajemen perusahaan. Dalam pandangan Ginandjar , fungsi hubungan industrial sebaiknya dikelola dengan melibatkan serikat pekerja. Sedangkan dari pihak manajemen perusahaan menginginkan bahwa pengelolaan hubungan industrial dilakukan tanpa kehadiran serikat pekerja. Hal ini terjadi karena manajemen perusahaan percaya bahwa hubungan industrial yang positif dapat dibangun tanpa perlu hadirnya serikat. Sepanjang pengetahuannya semua perusahaan yang mempekerjakan minimum 25 orang karyawan wajib mempunyai sebuah serikat pekerja. Mungkinkan hubungan industrial yang positif terjalin tanpa kehadiran dari serikat pekerja?

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam benak Ginandjar sering pula menjadi kekhawatiran para praktisi SDM yang mungkin sedang mengalami situasi yang mirip seperti yang dihadapi oleh Ginandjar atau yang berkeinginan untuk mengembangkan karirnya menjadi seorang generalis di bidang SDM. Pada dasarnya di dalam mengelola hubungan industrial di perusahaan, keberadaan Serikat Pekerja bukanlah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Bila kita merujuk kepada Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 106 dinyatakan :
1. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
2. Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan
3. Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan
Berdasarkan Undang-undang tersebut di atas, yang wajib dipenuhi oleh perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya adalah adanya lembaga kerjasama bipartite, dan tidak harus melulu melalui hubungan dengan Serikat Pekerja. Dengan perkataan lain, perusahaan dimungkinkan untuk mengelola hubungan industrialnya tanpa ada keterlibatan dari Serikat Pekerja. Meskipun Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 memberikan kemungkinan untuk itu, bukan berarti perusahaan dapat melakukan kampanye anti serikat pekerja di perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya, karena hal ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh,yang mengamanatkan :
"Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
1. Melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan atau melakukan mutasi
2. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh
3. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun
4. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh"
Apabila anda menjadi Ginandjar, apa yang akan anda lakukan dalam mengelola hubungan industrial di perusahaan tanpa melibatkan serikat pekerja ? Uraian-uraian berikut ini akan menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengelola hubungan industrial di dalam perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Uraian-uraian ini dibuat berdasarkan pengalaman yang dialami oleh penulis; yang pernah bekerja di perusahaan yang mengelola hubungan industrialnya dengan keterlibatan dari serikat pekerja dan tanpa serikat pekerja; serta dari studi literatur yang ada

A. Hubungan Industrial Tanpa Serikat Pekerja
Perusahaan-perusahaan yang membangun hubungan industrial yang produktif namun tidak ingin melibatkan serikat pekerja di dalam keseluruhan prosesnya dapat mempertahankan kondisi tersebut apabila :
1. Mampu meningkatkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja
2. Manajemen perusahaan mampu dan berkeinginan untuk menawarkan kondisi kerja yang sama atau lebih baik dari yang dapat mereka harapkan dari serikat pekerja (Mondy, Noe, & Premeaux, 2002)

A.1. Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja
Menurut American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations; AFL - CIO (Nation Business No. 54, 1966) ada sejumlah faktor yang dapat menurunkan kesempatan bagi terjadinya pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan, seperti berikut :
-Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak memanfaatkannya.
-Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.
-Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.
-Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Stone (1998) yang mengemukakan bahwa Kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan dari manajemen mendorong pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja
-Tidak adanya favoritisme; yang biasanya diperoleh melalui mekanisme diluar prestasi kerja.
Para supervisor yang mempunyai hubungan baik dengan para bawahannya.
Walaupun faktor-faktor tersebut muncul di Amerika Serikat, namun berdasarkan pengalaman penulis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut masih relevan untuk dipertimbangkan dalam konteks hubungan industrial di Indonesia. Sebagai contoh : penulis dalam kapasitasnya sebagai Manajer SDM pernah menyelesaikan pembuatan peraturan perusahaan dengan baik tanpa menimbulkan konflik, di perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Dalam proses pembuatan peraturan perusahaan ini, para perwakilan karyawan dilibatkan dalam memberikan usulan perubahan terhadap peraturan perusahaan yang ada. Memang tidak semua usulan perwakilan karyawan dapat diterima. Namun demikian, dengan pendekatan ini para karyawan tidak merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Dengan pendekatan ini pula, para perwakilan karyawan akan mempunyai rasa memiliki terhadap aturan-aturan yang ada. Hal ini kelak akan memudahkan pihak manajemen dalam menegakkan peraturan yang ada. Disamping itu hubungan baik yang terjalin antara penulis dengan perwakilan karyawan yang ada memudahkan penulis untuk menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkan usulan-usulan perwakilan karyawan belum dapat dipenuhi.

A.2. Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya keinginan membentuk serikat pekerja
Menurut Mondy, Noe, Premeaux ( 2002) ada sejumlah faktor yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat mengundang munculnya serikat pekerja. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Supervisor lini pertama yang berfungsi efektif
Hal yang paling penting bagi perusahaan agar tetap mempunyai kemampuan dalam mempertahankan status bebas serikat pekerja adalah efektifitas dari manajemennya, khususnya para Supervisor pada lini pertama. Para Supervisor ini merupakan pertahanan awal pihak manajemen terhadap serikat pekerja. Kemampuan para Supervisor ini dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, penilaian karya , keluhan karyawan, penegakkan disiplin dan pemberian penghargaan, akan mempengaruhi sikap karyawan terhadap perusahaan. Bila mereka mampu menangani masalah-masalah yang muncul dengan baik, kemungkinan besar sikap karyawan akan lebih positif terhadap perusahaan. Dengan demikian dapat menghindarkan karyawan untuk berpikir mencari alternatif pemecahan masalah yang lain, yang salah satunya melalui serikat pekerja. Peran para Supervisor ini tidak dapat diabaikan, walaupun mereka adalah tingkatan manajemen terendah di dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena para Supervisor biasanya mempunyai pengaruhi yang lebih besar kepada para karyawan dibandingkan dengan para Manajer lainnya.

b. Adanya kebijakan bebas serikat pekerja
Apabila perusahaan mempunyai sasaran untuk tetap mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibatan serikat pekerja, maka kebijakan tersebut seharusnya dikomunikasikan dengan baik dan berulang-ulang pada seluruh karyawannya. Para karyawan harus diberikan informasi yang lengkap dan tepat tentang alasan-alasan yang mendasari pihak manajemen organisasi untuk mengambil kebijakan ini dan dampak kebijakan ini terhadap seluruh karyawan. Komunikasi yang efektif diperlukan untuk meyakinkan para karyawan tentang manfaat yang diperoleh oleh organisasi dan juga para karyawan atas penetapan kebijakan bebas serikat pekerja ini. Khususnya di Indonesia, penetapan dan penerapan kebijakan bebas serikat pekerja ini tidak dapat dilakukan sepenuhnya seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Dengan demikian hal ini harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan bahwa langkah yang diambil organisasi ini tidak dianggap sebagai upaya untuk melakukan kampanye anti serikat pekerja. Sesuatu kebijakan yang akan dianggap melanggar pasal 28 Undang Undang No. 21 Tahun 2000.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, banyak perusahaan di Indonesia yang tidak secara resmi atau tertulis menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan bebas serikat pekerja. Namun dalam prakteknya mereka melakukan hal tersebut. Hal ini mungkin bagian dari taktik perusahaan agar tidak dianggap melanggar undang undang. Namun demikian menurut hemat penulis, seandainya memang perusahaan ingin mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibaan serikat pekerja, maka sebaiknya perusahaan tidak perlu menetapkan dan menyatakan kebijakan ini secara terbuka kepada siapapun. Selain itu, praktisi SDM yang ada di perusahaan harus memahami dengan baik ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai serikat pekerja.

c. Komunikasi yang efektif
Agar tetap bebas dari serikat pekerja, perusahaan harus mampu membangun sebuah komunikasi yang efektif dengan seluruh elemen yang ada di dalam organisasi. Berbagai cara dapat dilakukan untuk membangun proses komunikasi yang efektif di dalam perusahaan, antara lain melalui :

1. Manajemen partisipatif
Melalui manajemen partisipatif ini, para karyawan diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan tertentu oleh atasannya. Dengan pendekatan ini demikian para manajer dapat mendengarkan dan memahami gagasan-gagasan, umpan balik, maupun keberatan dari para karyawan. Dampak utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah terbentuknya sikap positif dan keyakinan dari para karyawan bahwa mereka telah diperlakukan dengan baik dan bahwa atasan mereka merupakan pihak yang tepat untuk menyalurkan aspirasi mereka, dan bukan serikat pekerja.

2. Manajemen Kinerja (Performance Management)
Salah satu bentuk dari komunikasi yang efektif adalah apabila para karyawan memahami tugas-tugas yang harus dilakukannya, diberikan informasi yang diperlukan mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik, dan diberikan umpan balik atas kinerja yang ditampilkannya. Semua kondisi tersebut di atas hanya dapat terjadi apabila proses manajemen kinerja di dalam perusahaan sudah berjalan dengan baik. Dengan penerapan manajemen kinerja yang baik maka akan menghindarkan munculnya konflik di tempat kerja yang disebabkan oleh ketidak-jelasan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para karyawan. Konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menciptakan ruang bagi kemungkinan munculnya keinginan dari karyawan untuk membentuk serikat pekerja. Khususnya bila karyawan yang bersangkutan merasa tidak puas dengan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh atasannya atau pihak manajemen perusahaan.

3. Open door policy
Open door policy adalah kebijakan perusahaan yang memberikan hak kepada para karyawan untuk membawa berbagai masalah/keluhan kepada atasan dari atasan langsung, apabila penyelesaian yang memuaskan tidak dapat diperoleh dari atasannya langsung. Dengan kebijakan ini, maka para karyawan didorong untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapinya tetap dalam kerangka struktur organisasi yang ada. Dengan demikian dapat memastikan bahwa berbagai masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan memuaskan Dengan demikian memperkecil ruang bagi munculnya keinginan untuk mencari penyelesaian di luar struktur organisasi.

Agar kebijakan ini berjalan dengan efektif maka para karyawan tidak boleh merasa takut bahwa dengan melaporkan masalah yang dihadapinya kepada atasan dari atasan langsungnya, akan menghambat karirnya. Untuk itulah para pihak yang terlibat dalam proses ini harus memiliki sikap dewasa, terbuka dan saling percaya satu dengan lainnya. Kebijakan ini akan menjadi kontra produktif bila karyawan yang melaporkan keluhannya kemudian dihukum atau dihambat karirnya karena telah mem"bypass" atasannya langsung.

d. Kepercayaan dan keterbukaan
Kepercayaan dan keterbukaan dari para manajer dan para karyawan merupakan hal yang tidak dapat dilupakan bagi perusahaan untuk tetap dapat mengelola hubungan industrialnya tanpa kehadiran dari serikat pekerja. Kredibilitas yang didasarkan atas kepercayaan harus ada diantara manajemen dan para karyawan. Bila para karyawan mempersepsikan bahwa manajernya cukup terbuka dan dapat menerima gagasan-gagasan dari mereka, maka akan muncul lebih banyak umpan balik kepada manajernya. Manajer membutuhkan umpan balik ini untuk melaksanakannya pekerjaannya secara efektif. Bila manajer memberikan kesan bahwa perintah-perintahnya tidak boleh dipertanyakan, maka komunikasi akan tersumbat dan kredibilitas manajer perlahan-lahan akan hilang.

e. Program-program kompensasi yang efektif
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa program kompensasi yang efektif akan menjadi daya tahan tersendiri bagi perusahaan dari "gempuran" pihak-pihak yang menginginkan berdirinya serikat pekerja di perusahaan. Kompensasi yang efektif berarti bahwa sistim penggajian dan kesejahteraan diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan. Contoh : Pemberian bonus bagi para karyawan yang berprestasi di atas rata-rata, kenaikan gaji berkala yang dilakukan sesuai dengan kemampuan perusahaan dan kenaikan gaji pada industri sejenis, bantuan biaya pendidikan bagi karyawan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yang relevan dengan pekerjaannya, dll.

Berdasarkan pengalaman penulis dalam menangani permasalahan serikat pekerja, diketahui bahwa umumnya isu yang menjadi bahan perselisihan oleh serikat pekerja adalah menyangkut hal-hal yang bersifat normatif, seperti kenaikan gaji, uang lembur, jaminan kesehatan, jamsostek , dan sebagainya. Dengan demikian, apabila perusahaan telah mempunyai program-program kompensasi yang efektif, maka sebagain besar potensi masalah yang dapat menjadi titik awal munculnya perselisihan perburuhan, yang dapat mengarah pada upaya pembentukan serikat pekerja telah dapat dieleminir. Namun demikian, program kompensasi yang efektif yang diberikan oleh pihak perusahaan harus secara berkala ditinjau ulang dan dikelola dengan baik. Hal ini untuk memastikan bahwa program-program yang ada tetap kompetitif dan menarik bagi para karyawan, khususnya bagi karyawan yang berprestasi. Pemberian kompensasi yang menarik namun tidak dikelola secara efektif malah akan menjadi pemicu munculnya ketidak-puasan karyawan, yang pada akhirnya akan menstimulasi munculnya perselisihan yang dapat mendorong munculnya upaya-upaya pembentukan serikat pekerja.

f. Lingkungan kerja yang sehat dan aman
Lingkungan kerja, tak pelak lagi menjadi faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam membangun hubungan industrial tanpa kehadiran serikat pekerja. Lingkungan kerja yang sehat dan aman akan menciptakan ketenangan bekerja bagi para karyawan. Lingkungan kerja yang tidak memberikan perlindungan yang baik bagi karyawan, akan memberikan ruang bagi terjadinya kecelakaan kerja. Semakin banyak terjadinya kecelakaan kerja akan mendorong karyawan menuntut pada pihak perusahaan untuk memenuhi kewajiban normatifnya. Bukan tidak mungkin, karyawan akan membawa masalah ini kepada pihak luar, bila pihak perusahaan tidak berupaya menananggapi masalah ini arif. Bila hal ini terus berkepanjangan, maka ruang bagi munculnya serikat pekerja telah terbuka dengan luas di perusahaan.

Kesimpulan
Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang ketenaga-kerjaan yang ada di Indonesia. Banyak perusahaan yang telah menerapkan hal ini. Namun demikian dalam melaksanakan hal tersebut di atas, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan hukum karena dianggap menghalangi pembentukan serikat pekerja, yang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang no 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh.

Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja seperti telah disebutkan dan dijabarkan di atas, telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa semua faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lainnya. Tidak adanya salah satu faktor dari faktor-faktor yang tersebut di atas, dapat mengurangi kemampuan perusahaan untuk menghindari terjadinya pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan. Ulasan di atas, diharapkan dapat membantu Anda, mengambil sikap yang tepat, dalam menjawab tantangan-tuntutan- kebutuhan seputar serikat kerja di perusahaan tempat Anda bekerja. Semoga bermanfaat. (jr)

**Penulis adalah alumnus Program Pasca Sarjana Psikologi Jurusan Psikologi SDM – Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Saat ini penulis merupakan praktisi SDM di sebuah perusahaan Multinasional Asing

Sumber : www.e-psikologi.com

Sistim Manajemen SDM Berbasiskan Kompetensi

Sistem Manajemen SDM Berbasiskan Kompetensi
Arbono Lasmahadi Jakarta, 12 Desember 2002

Raymond, seorang Manajer Sumber Daya Manusia di sebuah perusahaan asing tampak serius mengamati laporan pemeriksaan psikologis dari staffnya, Susan. Laporan ini dia terima dari sebuah biro konsultasi psikologi terkenal, beberapa bulan yang lalu, sebagai bagian dari proses rekrutmen dan seleksi yang dilakukan terhadap Susan. Ia masih tidak percaya bahwa hasil pemeriksaan psikologis yang sangat baik dari Susan ternyata tidak membuatnya menghasilkan kinerja yang superior seperti yang diramalkan oleh hasil pengukuran psikologis tersebut. Raymond merasa bahwa selama ini ia telah memberikan cukup bimbingan, pelatihan dan fasilitas yang diperlukan oleh Susan agar berhasil dalam pekerjaannya. Namun kinerja yang diharapkannya tidak kunjung muncul dari Susan. Berdasarkan pengalaman tersebut, muncul pertanyaan dalam diri Raymond "Seandainya hasil pemeriksaan psikologis yang memberikan rekomendasi sangat baik tidak mampu memprediksikan keberhasilan kinerja seseorang, lalu metode apakah yang secara efektif dapat meramalkannya ?"

Masalah yang dihadapi oleh Raymond di atas pada dasarnya mirip dengan masalah yang terus-menerus dihadapi oleh United States Information Agency (USIA), saat melakukan proses seleksi calon pegawainya, pada awal tahun 1970-an. Dari kajian yang dilakukan oleh badan tersebut ternyata ditemukan bahwa nilai tinggi yang diperoleh dari hasil pengukuran psikologis, ternyata tidak memprediksikan keberhasilan dalam pekerjaan. Hal ini yang mendorong David C McClelland, Psikolog, pakar motivasi dan "achivement", untuk memperkenalkan sebuah pengukuran kepribadian yang dapat mengenali sikap-sikap dan tingkah laku-tingkah laku yang dimiliki oleh orang-orang yang prestasinya sangat baik. (Lucia & Lepsinger, 1999). Pendekatan yang dipakai oleh David C McClelland di atas kelak akan menjadi cikal bakal pengembangan model-model kompetensi.

Pengalaman penulis dalam melakukan proses rekrutmen dan seleksi dengan menggunakan pendekatan konvensional, yaitu dengan menggunakan pengukuran psikologis yang terstandardisasi, menunjukkan bahwa pendekatan ini tidaklah selalu berhasil dengan baik dalam meramalkan keberhasilan calon pekerja pada pekerjaannya kelak. Akibatnya bisa saja calon pekerja yang diramalkan akan berhasil dengan baik dalam pekerjaannya, ternyata belum tentu menampilkan kinerja yang diharapkan ketika sudah diterima menjadi pekerja, seperti kasus Susan di atas. Sedangkan di sisi lain, calon pekerja yang hasil pengukuran psikologisnya biasa-biasa saja, ternyata tidak selalu menjadi seorang "mediocre" alias orang yang prestasinya biasa-biasa saja.

Masalah yang dihadapi Raymond, seperti halnya yang dialami penulis, juga dialami oleh banyak perusahaan. Mereka juga mengalami kesulitan dalam menentukan kapasitas yang dimiliki oleh calon pekerja atau pekerjanya yang sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaannya. Perilaku-perilaku yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang superior bervariasi dari satu bisnis ke bisnis lainnya, dari satu peran ke peran lainnya di dalam organisasi. Menghadap kesulitan tersebut, sudah banyak organisasi, khususnya perusahaan-perusahaan berskala besar yang telah mulai menggunakan model-model kompetensi (competency models) untuk membantu mereka mengenali ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan dan karakteristik pribadi yang sangat penting, yang dibutuhkan untuk berhasil mencapai kinerja yang superior.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai model-model kompetensi, aplikasinya dan manfaatnya bagi sistem Manajemen Sumber Daya Manusia dan cara pengembangannya di dalam perusahaan, penulis mencoba memaparkannya dalam uraian berikut ini.

Definisi
Menurut Kamus Kompetensi LOMA (1998), kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap , pengetahuan, dan ketrampilan. Kompetensi-kompetensi akan mengarahkan tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua aspek-aspek pribadi dari seseorang pekerja itu merupakan kompetensi. Hanya aspek-aspek pribadi yang mendorong dirinya untuk mencapai kinerja yang superiorlah yang merupakan kompetensi yang dimilikinya. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa kompetensi akan selalu terkait dengan kinerja yang superior.

Model kompetensi didefinisikan sebagai suatu rangkaian kompetensi yang penting bagi kinerja yang superior dari sebuah pekerjaan atau sekelompok pekerjaan. Model kompetensi ini memberikan sebuah peta yang membantu seseorang memahami cara terbaik mencapai keberhasilan dalam pekerjaan atau memahami cara mengatasi suatu situasi tertentu (LOMA,s Competency Dictionary, 1998).

Aplikasi
Menurut Kamus Kompetensi LOMA ( 1998) aplikasi dari model kompetensi pada sistem Manajemen Sumber Daya Manusia muncul pada area-area berikut :

Staffing
Strategi-strategi rekrutmen dan tes-tes yang digunakan untuk seleksi didasarkan atas kompetensi-kompetesi kritikal dari pekerjaan

Evaluasi Kinerja
Penilaian kinerja dari pekerja didasarkan atas kompetensi-kompetensi yang dikaitkan dengan target –target yang penting dari organisasi

Pelatihan
Program-program pelatihan dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki pekerja dan kompetensi yang diharapkan dimiliki pekerja

Pengembangan
Para pekerja pertama kali diukur untuk mengenali kesenjangan kompetensinya; kemudian mereka dibimbing untuk membuat rencana-rencana pengambangan untuk menutupi kesenjangan yang ada

Reward & Recognition
Para pekerja diberikan kompensasi untuk prestasi-prestasi dan tingkah laku-tingkah laku yang mencerminkan tingkat ketrampilan mereka pada kompetensi-kompetensi kunci.
Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat dari Michael Amstrong dalam Handbook of Human Resources Management Practice (2001) yang mengemukakan bahwa penerapan kompetensi dalam Manajemen Sumber Daya Manusia dilakukan dalam proses rekrutmen dan seleksi, assessment centres, manajemen kinerja, pengembangan SDM, dan manajemen imbal jasa.

Manfaat
Aplikasi dari model-model kompetensi di perusahaan dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan sistem Manajemen Sumber Daya Manusia yang ada di dalam perusahaan, seperti yang diungkapkan oleh Lucia dan Lepsinger ( 1999) berikut :

1.Seleksi
Memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai persyaratan-persayaratan jabatan
Meningkatkan kemungkinan untuk merekrut pekerja yang akan berhasil di dalam pekerjaannya.

Meminimalkan investasi (baik waktu dan uang) pada pekerja yang mungkin tidak memenuhi harapan perusahaan.

Memastikan proses wawancara yang lebih sistematis.

Membantu membedakan kompetensi-kompetensi yang dapat dilatihkan dan kompetensi-kompetensi yang sulit untuk dikembangkan.

2.Pelatihan dan Pengembangan
Memungkinkan pekerja untuk memusatkan perhatian pada ketrampilan, pengetahuan, dan karakteristik-karakteristik yang mempunyai dampak terbesar terhadap efektifitasnya

Memastikan bahwa kesempatan-kesempatan untuk melakukan pelatihan dan pengembangan berjalan selaras dengan sistem nilai dan strategi-strategi organisasi

Memaksimalkan efektifitas dari waktu dan dana yang digunakan untuk melakukan pelatihan dan pengembangan

Memberikan sebuah kerangka untuk melakukan proses bimbingan dan pemberian umpan balik yang berkelanjutan

3.Penilaian Kinerja
Memberikan pemahaman bersama tentang hal-hal yang akan dimonitor dan diukur
Memusatkan perhatian dan mendorong proses diskusi tentang penilaian kinerja
Memusatkan perhatian dalam mendapatkan informasi tentang tingkah laku pekerja dalam pekerjaan

4.Perencanaan Karir/suksesi
Menjelaskan tentang ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan dan karakteristik-karakteristik yang diperlukan oleh suatu pekerjaan/peran
Memberikan metode untuk mengukur kesiapan dari calon pemegang jabatan atas peran yang akan dipegangnya
Memusatkan perhatian dari rencana pelatihan dan pengembangan pada kompetensi-kompetensi yang belum dimiliki oleh calon pemegang jabatan
Memungkinkan organisasi untuk melakukan pembandingan (benchmark) diantara sejumlah karyawan potensial yang prestasinya sangat baik

Langkah-langkah Pengembangan Model Kompetensi
Dalam kamus Kompetensi dari LOMA (1998) dipaparkan langkah-langkah untuk mengembangkan model-model kompetensi. Langkah-langkah tersebut adalah:

1. Kenali sasaran-sasaran organisasi yang akan menjadi dasar bagi pengembangan model kompetensi
Untuk berhasil mencapai hasil yang baik dalam penerapan model kompetensi, maka perusahaan harus mempunyai alasan yang dari sisi bisnis memaksa perusahaan untuk menerapkan model ini. Alasan-alasan yang mengarahkan organisasi untuk menerapkan model ini perlu dikenali dengan baik. Dengan demikian ketika model ini diterapkan akan membantu perusahaan dalam mencapai sasaran-sasarannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu :

Definisikan strategi organisasi
Sebuah Model kompetensi akan efektif bila diselaraskan dengan strategi, sistem nilai, dan sasaran-sasaran dari organisasi. Untuk itulah, sebelum membuat keputusan yang berkaitan dengan pengembangan model kompetensi, maka para perancang model kompetensi harus secara mendalam melakukan kajian terhadap strategi, sistem nilai, dan juga sasaran-sasaran dari perusahaan.

Kenali cara mengaplikasikan model kompetensi
Pada langkah ini, para perancang model kompetensi harus melakukan evaluasi terhadap segala kemungkinan penggunaan model kompetensi di dalam organisasi dan menetapkan aplikasi-aplikasi yang mempunyai potensi terbesar, misalnya untuk proses rekrutmen dan seleksi atau pelatihan dan pengembangan. Untuk aplikasi pertama, sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan yang dapat menunjukkan hasil yang cepat.

Tetapkan " scope" dari model
Sebuah model kompetensi dapat dikembangkan untuk sebuah pekerjaan, sekelompok pekerjaan, sebuah unit bisnis atau untuk keseluruhan organisasi. Para perancang model kompetensi harus menetapkan cakupan dari pengembangan model kompetensi di dalam organisasi. Beberapa organisasi mengembangkan "Core Competency Model" berdasarkan sasaran-sasaran organisasi yang berlaku bagi semua jabatan atau sebagian besar porsi dari pekerjaan dan kemudian menambahkan "Job Specific Competencies" pada sekelompok kecil pekerjaan

2. Merancang Rencana Untuk Membuat Model
Pada tahap ini, para perancang model kompetensi akan mengambil langkah-langkah awal untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang akan dimasukkan dalam model yang akan diaplikasikan di dalam organisasi. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Menentukan pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses pengembangan model
Melibatkan orang-orang yang tepat dalam mengembangkan model merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Pada umumnya orang-orang yang membantu pengembangan model adalah mereka-mereka yang pada akhirnya menggunakan model kompetensi dengan sukses. Pertimbangkanlah untuk melibatkan pihak-pihak berikut ini dalam proses pengembangan model kompetensi di perusahaan: pimpinan puncak perusahaan, para manajer yang terkait , para pemegang jabatan yang mempunyai prestasi yang sangat baik, staf Departemen SDM, dan ahli-ahli kompetensi.
Memilih pendekatan yang tepat untuk mengenali kompetensi-kompetensi kritikal
Ada beberapa pendekatan atau metode yang dapat dipakai untuk mengenali Core Competencies atau Job Specific Competencies.
Untuk mengenali core competencies, metode yang paling efektif adalah dengan melakukan pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan. Dalam pertemuan ini terutama dibahas secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi organisasi, misi, dan juga sasaran-sasaran organisasi dan kompetensi-kompetensi inti yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan, untuk mencapai misi dan sasaran-sasaran tersebut.

Untuk mengenali job specific competencies, dapat digunakan beberapa metode seperti : Focus Group Discussion dan survey dengan para job expert atau Behavioral Event Interview dengan para pemegang jababan , baik yang prestasinya sedang-sedang saja, maupun yang prestasinya superior.

3. Melakukan Pengumpulan Data
Setelah menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam pengembangan model kompetensi, sumber data atau informasi dan metode pengumpulan data, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh para perancang model kompetensi adalah mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan Core Competencies (kompetensi inti) dan Job Specific Competencies (kompetensi khusus untuk pekerjaan tertentu). Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengumpulan adalah sebagai berikut :
Mengidentifikasi Core Competencies bersama para pimpinan puncak perusahaan
Sebelum memulai pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan (atau orang-orang yang mereka nominasikan), sebaiknya para perancang model kompetensi memberikan informasi yang tepat mengenai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari pertemuan, dan pihak yang memfasilitasi pertemuan. Agenda yang dibicarakan dalam pertemuan sebaiknya mencakup hal-hal berikut ini:
Proses yang akan dilalui oleh para pimpinan puncak perusahaan dalam mengenali Core Competencies, cara pengenalan job specific competencies oleh job expert, dan kaitan penggunaan Job Specific Competencies dan Core Competencies.
Keputusan-keputusan tentang jenis-jenis jabatan yang harus memiliki core competencies (mis : semua pekerjaan di bawah level manajemen) dan cara aplikasi model kompetensi (mis : pengembangan karir, pelatihan, dsb-nya).
Kaitan antara Core Competencies dan tantangan-tantangan , misi, dan sasaran-sasaran organisasi
Konsensus tentang rangkaian Core Competencies yang akan diaplikasikan di perusahaan dan dukungan yang diperlukan untuk menerapkannya.
Kenali Job Specific Competencies melalui job expert
Focus Group Discussion (FGD). Dalam proses ini data atau informasi yang luas mengenai tantangan-tantangan dan persyaratan-persyaratan jabatan dikumpulkan melalui proses diskusi yang terstruktur dengan para job expert. Dari hasil FGD ini, maka kompetensi-kompetensi yang secara jelas tidak kritikal untuk pekerjaan dapat dihilangkan lebih awal sebelum diproses lebih lanjut. Alternatif yang lain, munculnya tambahan-tambahan kompetensi, khususnya kompetensi yang sifatnya teknis.
Survey. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion, sebuah survey dapat dirancang untuk disebarkan kepada sejumlah besar job expert. Isi dari survey adalah kompetensi-komptensi yang dipilih di dalam FGD. Hasil dari survey kemudian disimpulkan dan dianggap sebagai persepsi dari para pekerja tentang kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan bagi pekerjaan yang sedang dinilai.
Behavioral Event Interview (BEI). Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam dengan sejumlah pemegang jabatan yang mempunyai prestasi kerja rata-rata dan superior. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai cara mereka menangani situasi-situasi kritis di dalam pekerjaan mereka. Mengingat pendekatan ini memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar, maka sebaiknya digunakan hanya bila pekerjaan yang akan dibuat model kompetensinya relatif sedikit, dan organisasi dapat memperoleh interviewer yang terlatih.
4. Menganalisis Data dan Membuat Kesimpulan
Untuk melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh dari survey, maka para perancang model kompetensi perlu melakukan langkah-langkah berikut ini:
Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah
Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi
Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi dari yang paling tinggi hingga paling rendah
Buatlah kesimpulan dari hasil analisis tersebut di atas, dalam sebuah format yang dapat dipresentasikan kepada para job expert, sebagai bahan kajian dan diskusi. Pastikan bahwa dalam kesimpulan tercakup hal-hal berikut:
Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah
Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi
Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi mulai dari yang paling tinggi hingga paling rendah
5. Mendiskusikan dan Memfinalisasikan Model Kompetensi
Pada tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Presentasi
Presentasikan hasil survey kepada para pengambil keputusan penting di dalam organisasi. Para pengambil keputusan penting ini adalah meliputi orang-orang yang tersebut di bawah ini :
Para pimpinan puncak perusahaan
Manajer dan staf departemen SDM yang akan mengaplikasikan model kompetensi ini
Para manajer yang akan menjadi pengguna model kompetensi ini
Mencapai kesepakatan atas bentuk model
Sasaran dari proses ini adalah untuk mencapai konsensus mengenai sebuah model bersama yang aplikatif dan didukung oleh setiap orang. Semua perbedaan substansial yang muncul harus didiskusikan secara mendalam dan diselesaikan, bila semuanya memungkinkan.
Membatasi jumlah kompetensi bagi setiap model
Untuk setiap model jumlah kompetensi yang sebaiknya ada adalah antara 8-10 kompetensi. Besar-kecilnya jumlah akan tergantung juga pada kompleksitas pekerjaan. Semakin kompleks pekerjaan, umumnya memerlukan kompetensi yang lebih banyak. (LIHAT CONTOH) Kesimpulan
Penerapan model-model kompetensi dalam sistem Manajemen Sumber Daya Manusia saat ini sudah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat lagi dihindari oleh organisasi. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa dengan penerapan model-model kompetensi ini akan dapat memberikan nilai tambah yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa aplikasi model-model ini.
Agar penerapan model-model kompetensi di dalam organisasi dapat memberikan nilai kompetitif, maka dalam proses pengembangannya harus direncanakan dengan baik dan harus selaras dengan misi, strategi, tantangan-tantangan, maupun sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi. Selain itu demi menjaga agar penerapan model-model kompetensi dapat berjalan secara efektif, maka sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan dapat menunjukkan hasil yang cepat. Selamat mencoba dan semoga berguna untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan tenaga SDM kita. (jp)
Penjelasan Istilah:
Core Competencies:
Aspek-aspek unik yang harus dimiliki oleh para pekerja di dalam organisasi agar organisasi mempunyai nilai kompetitif
Job Specific Competencies:
Aspek-aspek unik yang harus dimiliki oleh para pekerja untuk dapat menghasilkan kinerja yang superior pada pekerjaan atau kelompok pekerjaan tertentu.

**Penulis adalah alumnus Program Magister Psikologi Terapan – Studi Sumber Daya Manusia, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saat ini penulis juga merupakan Kepala Departemen SDM di sebuah perusahaan Multi Nasional Asing.

Sumber : www.e-psikologi.com

Office Politics & Faktor Penyebab

Office Politics & Faktor Penyebab
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsiJakarta, 03 Agustus 2001


Merry adalah seorang analyst computer handal yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Pada saat ini perusahaan tersebut sedang melakukan perampingan (downsizing). Salah satu bentuk perampingan yang dilakukan adalah dengan melakukan penggabungan beberapa divisi/departemen secara bertahap. Selain itu perusahaan juga membuat kebijakan bahwa pegawai yang keluar, pindah divisi atau pensiun tidak akan diganti. Anto, atasan Merry, menyadari bahwa departemen yang dipimpinnya pasti akan goyang. Rumor yang berkembang menyebutkan bahwa departemennya akan digabung dengan departemen lain dalam waktu satu tahun. Tidak lama setelah rumor tersebut terdengar, Anto menerima surat permintaan dari Merry untuk ditransfer ke departemen lain yang lebih menjanjikan. Anto menolak permintaan tersebut sebab dia tahu jika Merry keluar maka posisinya tidak akan diganti oleh orang lain dan itu berarti bahwa departemen yang dipimpinnya akan kehilangan satu orang anggota. Dengan semakin berkurangnya jumlah pegawai dalam satu departemen maka hal itu akan semakin memudahkan perusahaan untuk menggabungkan departemen tersebut ke departemen yang lebih besar. Oleh karena itu Anto tetap mempertahankan Merry dengan tidak mengabulkan permintaannya, meski dia sadar bahwa Merry mungkin tidak dapat melakukan apa-apa selama satu tahun. Akibat penolakan tersebut Merry melakukan perlawanan. Ia melakukan manuver dengan menemui calon atasan barunya dan mendorong atasannya tersebut untuk membuka persoalan yang sedang dihadapinya kepada Vice-Presiden HRD. Hasilnya Merry diijinkan untuk pindah (transfer) dan Departemen yang dipimpin Anto digabung ke departemen lain dalam waktu empat bulan-lebih cepat dari waktu satu tahun seperti yang dijadwalkan sebelumnya.
Kejadian di atas mungkin pernah menimpa Anda, teman Anda, kerabat atau pun anggota keluarga Anda. Kejadian tersebut juga merupakan salah satu bukti bahwa office politics merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam dunia kerja. Masih banyak bentuk-bentuk office politics yang terjadi dalam perusahaan baik yang dilakukan secara halus dan penuh tanggung jawab maupun yang dilakukan dengan cara-cara kasar dan dapat merusak perusahaan. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan office politics dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
Pengertian
Setiap orang yang bekerja menginginkan karirnya terus meningkat dari waktu ke waktu, penghasilan bertambah, dan mendapatkan perlakuan serta penghargaan yang adil dalam penugasan kerja. Sayangnya hal tersebut seringkali tidak berjalan mulus seperti yang diperkirakan. Krisis ekonomi yang mendorong perusahaan untuk melakukan perampingan, restrukturisasi, merger dan akuisisi semakin menambah rumit persaingan diantara para pegawai. Kondisi ini menuntut kemahiran para pegawai (terlebih bagi mereka yang memegang posisi managerial) untuk memainkan peran seperti "politisi" jika ingin tetap exist.
Dalam era kompetisi kerja yang semakin tinggi seperti sekarang ini, satu faktor yang harus Anda tambahkan dalam keahlian dan ketrampilan Anda agar dapat sukses dalam pekerjaan adalah kemampuan untuk melakukan office politics. Tentu saja hal tersebut harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran serta norma-norma yang berlaku. Bagi sebagian orang "office politics" memiliki konotasi-konotasi negatif seperti kelicikan, kecurangan, dan intrik-intrik untuk menggapai ambisi pribadi. Namun menurut Andrew DuBrin dalam bukunya Winning Office Politics, office politics sebenarya merupakan cara-cara atau metode informal dan kemahiran/kelihaian seseorang dalam mendapatkan kekuasaan atau keuntungan. Politik dimainkan demi untuk memperoleh kekuasaan (power) - kemampuan untuk mengendalikan orang atau sumber daya, atau membuat orang lain melakukan sesuatu seperti yang kita inginkan.
Faktor-faktor Penyebab
Menurut Andrew DuBrin, office politics dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
Minimnya sumber daya yang tersedia: sumber daya yang ada dalam perusahaan berupa uang, bahan/material, dan orang (manusia) tentu saja memiliki jumlah terbatas. Dalam keterbatasan tersebut orang cenderung berlomba untuk mendapatkan dan mempertahankan sebanyak mungkin sumber daya yang dianggap pantas untuk dimiliki. Semakin minim sumber daya yang tersedia semakin tinggi ketegangan untuk memperebutkan sumber daya tersebut.

Lingkungan kerja yang kompetitif: semakin tinggi tingkat kompetisi dalam perusahaan atau departemen maka setiap orang akan berlomba untuk menjadi yang terbaik sehingga seringkali menggunakan cara-cara tertentu.

Standard performance ditetapkan secara subyektif: para pegawai cenderung melakukan office politics jika mereka merasa bahwa cara-cara yang diterapkan manajemen dalam melakukan promosi atau penilaian kinerja tidak adil.

Jabatan yang tidak terdefinisi dengan jelas: banyak perusahaan yang menciptakan jabatan-jabatan yang "aneh" dalam arti tidak jelas rincian tugas dan tanggung jawabnya.Jabatan-jabatan tersebut memberikan kesempatan besar bagi si jobholder untuk "bergerilya" dalam perusahaan.

Meniru Gaya Atasan: banyak eksekutif yang meniru cara-cara yang dilakukan oleh atasannya untuk mendapatkan kesan yang positif. Cara-cara yang dilakukan misalnya menggunakan pakaian dengan model & merk yang sama, merekrut bawahan dari universitas tertentu, dsb

Filosofi WIN-LOSE yang diterapkan perusahaan: semakin perusahaan menerapkan pendekatan win-lose dalam pemberian rewards, semakin besar pegawai akan terlibat dalam praktek office politics.

Hasrat untuk berkuasa: keinginan untuk berkuasa merupakan suatu hal yang normal. Untuk mendapatkan kekuasaan, banyak eksekutif terlibat dalam pergelutan office politics tingkat tinggi.

Kecenderungan untuk memanipulasi (Machiavellian tendencies): salah satu alasan mendasar mengapa orang terlibat dalam perilaku politik adalah karena adanya dorongan atau kecenderungan untuk memanipulasi orang lain. Manipulasi dalam pengertian disini menunjuk pada segala sesuatu yang dilakukan untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan dengan cara memberikan informasi yang tidak benar atau membuat janji palsu.

Tidak adanya keamanan emosional: merasa tidak aman dan kurangnya rasa percaya diri terhadap jabatan atau kemampuan yang dimiliki cenderung membuat seseorang melakukan office politics.

Percaya pada kekuatan-kekuatan external: orang-orang dengan tipe "external locus of control" memiliki pandangan bahwa mereka tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap apa yang terjadi pada diri mereka sendiri. Orang-orang dengan tipe ini akan cenderung menyalahkan politik (orang lain) ketika mereka mengalami kegagalan. Untuk menghindari terulangnya kegagalan di masa mendatang maka mereka akan dengan antusias melibatkan diri dalam politik.

Kebutuhan untuk dihargai: motif utama dibalik manuver-manuver politik yang dilakukan seseorang dalam dunia kerja seringkali adalah kebutuhan untuk dihargai dan diterima oleh orang lain.

Ambisi pribadi: keinginan untuk selalu menjadi orang nomor satu dalam departemen atau perusahaan seringkali membuat pegawai atau eksekutif mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan perusahaan. Untuk memuluskan jalannya mereka cenderung melakukan office politics demi menjaga agar posisinya tetap aman.

Tidak mau bekerja keras: meskipun office politics dilakukan untuk memperoleh kekuasaan, beberapa pelaku seringkali tidak mau bekerja keras. Dengan bertingkah laku sesuai dengan keinginan atasan, atau pun bermodalkan referensi yang didapat dari atasan yang lebih tinggi dari atasan langsung, mereka cenderung menolak untuk menerima tugas-tugas yang tidak diinginkan.(jp)

Sumber : www.e-psikologi.com

Selasa, 20 November 2007

Seven Bright New Careers for '07 and Beyond

Seven Bright New Careers for '07 and Beyond
by Clare Kaufman

It's another new year, and industry analysts are busy gazing into their crystal balls. Will 2007 be the year of telecom? Will terrorism bring homeland security to the fore? The Department of Labor predicts wildfire growth in healthcare, information systems, security, and postsecondary education. About three out of every ten new jobs created in the U.S. economy will be in the healthcare, social assistance, or postsecondary education sectors.
But what does this all mean for you? Before you strike out into this vast career territory, take a look into your own crystal ball. Here are seven visions of career success in 2007 and beyond.

1. Physician Assistant
Physician assistant is one of the nation's fastest growing professions, and it's no wonder. Physician assistants are effectively replacing doctors as primary care providers, enjoying the same job satisfaction and a comfortable salary with a fraction of the training requirements.
If you're up for an intellectual challenge and enjoy helping those in need, this promising career may be in your future. Physician assistants play a direct and crucial role in their patients' wellbeing--they perform medical examinations, diagnose illness, prescribe medication, and assist in surgery.
A two-year physician assistant degree is the first step toward a career in this growing field. Since this is a graduate level course, you'll also need a bachelor's degree with course work in science.
Physician assistants can expect a bright career future, thanks to their role in streamlining an over-burdened medical system. The Bureau of Labor Statistics predicts 49.6 percent job growth through 2014.

2. Marketing
This isn't your grandma's advertising. Today's marketers are developing business strategies in a rapidly changing media environment. To keep up with the media revolution, many businesses are hiring 'new media marketing coordinators' and 'marketing media strategists.'
Marketing will appeal to anyone who enjoys charting business tactics in a rapidly evolving high-tech environment. Google, YouTube, and mobile device technology are changing the landscape of marketing communications daily. As a media strategist, you can help determine how best to leverage these outlets to communicate your company's message.
Aspiring marketing professionals can stand out in this new business environment with a degree in business or marketing. Look for a program that emphasizes new media technology and Web-based communications.
Demand for Internet and technology-savvy marketers should be strong in 2007. Sean Bisceglia, president of Aquent Marketing Staffing, comments: "There's a lot of pressure to find experience in Internet marketing," as companies recruit the next generation of marketers.

3. Video Game Design
Video game development has evolved into a $9.9 billion industry and rivals Hollywood for blockbuster budgets and long production schedules. The video game industry expects to double employment over the next few years. The industry reported 144,000 jobs in 2004; that number should reach 265,000 by 2009.
This is good news for anyone with a vivid imagination, visual art skills, and/or storytelling abilities. With a degree in video game design from a technical institute, you can translate talent into a lucrative career as a video game producer, tester, programmer, or sound engineer. For the more artistically-inclined, there are several opportunities in graphic design, image modeling, and animation.
The ability to collaborate with a large creative team is also important. Akira Yamaoka, who worked on Silent Hill, notes: "The skill to communicate with others is very valuable, because you have to cooperate with a lot of people to finish a project."

4. Network Systems Analyst
This rapidly-evolving career tops the Department of Labor's list of fastest-growing careers, with 54.6 percent job growth predicted through 2014. A systems analyst is responsible for structuring and upgrading a company's computer network to ensure optimal performance, inter-office communication, and access to data.
You might find your calling as a systems analyst if you enjoy the analytical challenge of matching available technology to business needs. A talented systems analyst is a tech-savvy people person with great communication skills. U.S. News & World Report's career coach Marty Nemko observes: "Strange as it may sound, creative liberal arts types with computer expertise usually make better systems analysts than pure techies."
If you have your sights set on a system analyst career, look for a well-rounded degree program emphasizing both technology and communications.

5. Data Analyst
Systems analysts are big-picture consultants; if you're more apt to focus on the details, you may be better suited to a career as a data analyst. In an era where a company's success depends on its ability to control and access information, data analysts perform a crucial role.
Data analysts may design methods of collecting and analyzing data, or they may develop strategies for keeping data secure. Data analysis spans a wide range of specialty areas--law, science, cyber security, and more. If you have a science background, for example, you'll find booming opportunities in bioinformatics. Bioinformaticians, or computational biologists, use computer modeling software to predict drug performance. In the legal field, data analysts perform computer forensics and recover deleted information, or they can manage searchable databases of legal data.
Data analysts are specialists; to succeed in this field, you'll need a degree targeted to your job function. Many leading technical institutes have developed specific programs in fields such as cyber security and healthcare information technology.
Information is only useful if it can be mobilized to a specific purpose. In today's data-saturated business environment, analysts help companies make the most of their information assets.

6. Higher Education Administration
Higher education administration offers a unique mix of policy-making, financial and business strategy, and program development. In addition to the intellectual challenge of their careers, education administrators enjoy the satisfaction of working toward a good cause: improving the quality of college education.
Higher education administration is a promising career for those who enjoy collaborative problem-solving and community service. Many college administrators find the environment intellectually stimulating--colleagues may be experts in any number of academic disciplines, and lifelong learning opportunities abound. The quality of life is also a selling point for many since the hours are generally more moderate than 'bottom line'-driven businesses.
Education requirements are high, but so are the returns in this promising field, ranked among U.S. News & World Report's 'Best Careers 2007.' Many universities offer graduate degrees in education administration to give aspiring administrators a leg up in the job market.

7. Occupational Therapist
Occupational therapy has received a great deal of publicity since the Bureau of Labor Statistics included occupational therapist on its list of 'fastest growing occupations.' With 34 percent growth predicted in this healthcare field, occupational therapy is a good career bet.
But is it right for you? It takes a compassionate and practical individual to excel in occupational therapy. Occupational therapists help people with physical or mental challenges achieve independence in their daily lives. Thirty percent of occupational therapists help autistic children adapt socially. Many others develop strategies and tools for older adults to ensure mobility and mental acuity.
An associate's degree is all it takes to launch a career as an occupational therapy assistant or aide. Aspiring occupational therapists prepare for greater responsibility by continuing on to a master's degree.
Lucky Number Seven
Each of these seven career profiles are equally crucial to today's economy. Where do you fit in? Whether you're an artist, a techie, a people person, or a business whiz, there's a place for your unique abilities in the new job market. For 2007, make it your resolution to forge your own path in an up-to-the-minute, in-demand career.

Senin, 19 November 2007

Etiket Dalam Menggunakan E-mail Sebagai Media Komunikasi

Etiket dalam Menggunakan Email sebagai Media Komunikasi


(diadaptasi dan diterjemahkan oleh Dhian Puspawati dan Arbono Lasmahadi dari artikel “Top Ten E-mail Etiquette by Gail Belmuth)

1. Jangan mengirimkan email bila menurut Anda tidak benar-benar diperlukan. Hal ini dapat menyebabkan overload informasi. Berbicara mengenai overload di sistem kita, hal ini dapat disebabkan oleh beratnya beban lampiran (attachments) di sebuah email. Untuk menghindari masalah tersebut, hindari pengiriman lampiran dalam ukuran besar. Dan selalu mencoba menghapus lampiran tersebut ketika mengirimkan respon atau jawaban sehingga tidak menghambat kelancaran sistem.

2. Tingkatkan frekuensi pertemuan secara langsung dengan pihak yang berkepentingan dengan Anda dibandingkan berkomunikasi melalui email sehingga Anda mendapatkan diskusi yang lebih produktif.

3. Cobalah untuk menggunakan email hanya ketika Anda meminta orang lain untuk melakukan sesuatu, memberikan informasi, membuat keputusan, dll. Perhatikan pula dengan cermat penggunaan ikon "reply to all" dan "reply to all with history". Saat anda bermaksud membalas e-mail dari seorang pengirim yang mengirimkan e-mailnya juga kepada banyak orang lainnya, maka dengan mengunakan ikon "reply to all" berarti semua orang yang alamat e-mailnya ada dalam daftar penerima e-mail akan menerima e-mail anda. Bisa dibayangkan masalah yang akan muncul seandainya e-mail anda berisi hal-hal yang sifatnya rahasia atau pribadi.

4. Dilarang mengkomunikasikan informasi-informasi yang bersifat rahasia dan sensitif melalui email. Pesan-pesan sederhana dapat dengan mudah disalahartikan. Ditambah lagi, kontak mata dan raut wajah serta ekspresi fisik lainnya lebih berperan besar dalam komunikasi dan memperingan situasi yang berat.

5. Ingat bila anda bekerja di perusahaan global , maka akan ada berbagai bahasa yang digunakan saat berkomunikasi. Apabila pesan Anda hanya ditulis dalam bahasa asli atau bahasa yang hanya anda sendiri pahami, maka besar kemungkinan kolega-kolega Anda sulit memahami yang ingin Anda sampaikan. Pastikan bahwa bahasa yang anda gunakan sesuai dengan bahasa yang digunakan secara umum di organisasi yang bersangkutan.

6. Apabila Anda ingin berkomunikasi dengan pelanggan, Anda harus mempertimbangkan lagi dalam memutuskan untuk menggunakan email. Apakah email sudah cukup formal dan menghargai pelanggan? Tidakkah menggunakan surat akan lebih cocok? Atau melalui telpon? Kunjungan? Namun jika Anda ragu-ragu, lebih baik tanyakan pada pelanggan bagaimana sebaiknya.

7. Perhatikan dengan benar pengejaan kata-kata dan tata bahasa sebelum mengirim email. Jika perlu mintalah bantuan rekan Anda untuk bersama-sama mengeceknya. Apalagi bila anda menggunakan istilah-istilah asing yang anda sendiri kurang memahaminya dengan baik.

8. Untuk tujuan tertentu, email tidak selalu merupakan media komunikasi terbaik. Misalnya, kita ingin dengan cara sebaik mungkin memberi dukungan terhadap kolega-kolega kita, ingin menawarkan suatu bantuan, atau ingin memberikan umpan balik positif ketika pekerjaan terselesaikan dengan baik. Tentu lebih cocok bila mengirimkan email mengenai keberhasilan atau prestasi tim namun email respon akan hal tersebut bisa banyak berdatangan sehingga mengakibatkan kotak pesan kita penuh dalam waktu yang sangat singkat. Demikian juga ketika Anda ingin berterima kasih kepada seseorang yang telah memberi informasi yang Anda butuhkan, mereka mungkin kurang menghargai bila hanya menerima pesan elektronik yang mengatakan, “Terima kasih”.

9. Anda mungkin pernah menerima email, yang entah bermaksud atau tidak, pesan dari si pengirim tersebut membuat anda sangat marah. Oleh karena itu andapun berupaya pula mengirimkan respon yang menggambarkan kemarahan Anda. Namun, daripada mengirimkan kepada si pengirim, lebih baik simpan sebagai catatan saja (“save it as a draft”), tarik nafas dalam-dalam, dan hitung sampai sepuluh. Ketika Anda membaca pesan Anda kembali, Anda tidak lagi merasa perlu untuk mengirimkannya. Akan timbul penyesalan bila Anda benar-benar mengirimkan pesan tersebut. email yang berisi kata-kata yang tajam dan keras hanya akan meninggalkan bekas yang mendalam bagi si penerima e-mail. Jangan pula terkejut, e-mail tersebut dapat digunakan oleh orang lain untuk kepertingan yang merugikan diri anda kelak.

10. Sebaiknya Anda mengecek email sebelum Anda mengirimkannya. Jangan sampai Anda mengklik ikon “kirim” (“send”) sebelum Anda benar-benar bermaksud mengirimkannya, ditambah dengan menyertakan lampiran yang salah, atau mengirimkan email ke orang yang salah. Email memang merupakan sistem pengiriman pesan yang instan, namun Anda tetap harus menyediakan waktu untuk mengecek sebelum mengirimkannya. Hal ini akan membuat Anda terhindar dari masalah.

11. Last but not least, email dapat pula merupakan cermin kredibilitas anda. Bila anda kerapkali mengirimkan email yang menimbulkan masalah, lama kelamaan kolega-kolega anda akan meragukan kredibilitas anda.

Selamat menerapkan dan semoga sukses !